Penalaran Deduktif dan Pengambilan Keputusan
PENALARAN DEDUKTIF
DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
(Deductive Reasoning and
Decision Making)
A.
Penalaran Deduktif
1. Tinjauan Penalaran
Kondisional (Conditional Reasoning)
2. Kesulitan dengan Informasi
Negatif
3. Kesulitan dengan Masalah
Penalaran yang Abstrak
4. Efek Bias Kepercayaan (The
Belief-Bias Effect)
5. Membuat Konversi yang
Salah (Making an Illicit Conversion)
6. Bias Konfirmasi (The
Confirmation Bias)
7. Kegagalan
Mentransfer Pengetahuan ke Tugas Baru
B.
Pengambilan Keputusan
1. Heuristik Keterwakilan (The
Representativeness Heuristic)
2. Heuristik Ketersediaan (The
Availability Heuristic)
3. Heuristik Pembuatan acuan
dan Pengaturan (The Anchoring and Adjustment Heuristic)
4. Efek Kerangka atau pembingkaian
(Framing Effect)
5. Pendalaman: Sikap Terlalu
Yakin atau Terlalu Percaya Diri (Overconvidence) dalam Pengambilan
Keputusan
6. Bias Peninjauan ke
Belakang (Hindsight Bias)
7. Dua Perspektif dalam
Pengambilan Keputusan: Optimisme dan Pesimisme
TINJAUAN
AWAL
Bab ini membahas
bagaimana orang melakukan dua tugas kognitif kompleks, yaitu penalaran deduktif
dan pengambilan keputusan. Pemecahan masalah (bab 11), penalaran deduktif,
dan pengambilan keputusan, merupakan topik-topik yang saling terkait dengan topik
berpikir.
Dalam
tugas penalaran deduktif, kita harus membuat beberapa simpulan logis berdasarkan informasi yang diberikan. Pada bab
ini, kita akan membahas penalaran kondisional, yang dideskripsikan sebagai hubungan “jika….maka....”. Orang
membuat beberapa kesalahan sistematis ketika melakukan penalaran kondisional. Misalnya, simpulan yang mereka ambil dapat
dipengaruhi oleh kepercayaan yang telah mereka miliki dan mungkin gagal dalam memeriksa
apakah hipotesis mereka tidak benar.
Pengambilan keputusan berarti melakukan penilaian dan
memilih dari beberapa alternatif. Kita sering menggunakan strategi heuristik dalam
membuat keputusan. Heuristik seringkali mengarahkan kita pada keputusan yang
benar, tetapi kita seringkali mengaplikasikannya secara tidak tepat. Heuristik keterwakilan
(representativeness heuristic) terkait dengan pengambilan contoh atau sampel
dari suatu populasi. Misalnya, jika kita melambungkan koin mata uang sebanyak enam
kali, salah satu kemungkinan hasilnya adalah G,A,G,G,A,A (G : Gambar dan A :
Angka) yang terlihat sangat mirip. Ketika kita memperhatikan keterwakilan, kadang-kadang kita mengabaikan
informasi lain, seperti ukuran sampel. Strategi kedua dalam pengambilan
keputusan adalah heuristik ketersediaan (availability heuristic) yang
digunakan ketika kita memperkirakan atau menduga frekuensi hal tersebut dengan bagaimana mudahnya kita memberikan contoh sesuatu.
Misalnya, ketika mengestimasi banyaknya mahasiswa yang berasal dari daerah
tertentu di suatu perguruan
tinggi, kita akan berpikir mengenai kemudahan memberikan atau menemukan contoh
dari mahasiswa-mahasiswa tersebut. Sayangnya, heuristik ketersediaan sering
dipengaruhi oleh dua faktor yang tidak relevan, yaitu resensi dan familiaritas
(keakraban). Kadang-kadang kita
membuat keputusan yang tidak tepat atau salah ketika menggunakan metode
heuristik ini. Metode heuristik ketiga, yaitu heuristik pembuatan acuan dan
penyesuaian (anchoring & adjustment heuristic) yang digunakan ketika
kita mulai mengaproksimasi (jangkar) pertama kali dan kemudian mengambil keputusan berdasarkan
informasi lain. Strategi ini masuk akal, kecuali bila penyesuaian kita terlalu
kecil. Topik lain yang akan dibahas di bab ini adalah bagaimana konteks
mempengaruhi keputusan, mengapa orang seringkali terlalu yakin atau percaya
diri, dan mengapa peninjauan ulang (hindsight) membuat kita terlalu
berlebihan dalam memperkirakan keakuratan pengambilan keputusan. Kita juga akan
mengeksplorasi beberapa interpretasi baru yang lebih optimistik dalam pengambilan
keputusan.
PENDAHULUAN
Kita menggunakan penalaran
deduktif setiap hari, meskipun mungkin kita tidak menyadarinya secara spontan. Misalnya,
ketika seorang teman mengatakan kepada kita, "Jika saya dapat menyelesaikan tugas sebelum sore
hari, maka saya akan
meneleponmu". Ketika sore
hari berlalu tanpa dering telepon, maka kita akan menyimpulkan
secara logis bahwa "Teman saya belum menyelesaikan tugasnya". Setiap hari, kita juga membuat banyak keputusan. Misalnya
kita perlu memutuskan apakah sebaiknya meminta rekomendasi Profesor Ali atau sebaiknya
Profesor Ahmad.
Pemecahan masalah (sebagaimana telah kita
diskusikan di bab sebelumnya), penalaran deduktif, dan pengambilan keputusan adalah
topik-topik yang saling terkait. Ketiga topik itu melibatkan kategori umum yang disebut berpikir. Berpikir adalah bekerja dengan
menggunakan informasi yang diberikan (Galloti,1989), yaitu kita mulai dengan beberapa
informasi dan selanjutnya memanipulasi secara mental informasi itu untuk
memecahkan masalah, memperoleh simpulan dari tugas penalaran deduktif, atau mengambil keputusan.
Dua topik yang dibahas dalam bab ini, yaitu
penalaran deduktif dan pengambilan keputusan, secara jelas sangat berkaitan. Dalam
penalaran deduktif, kita diberi beberapa premis yang spesifik, dan selanjutnya
kita diminta untuk menentukan apakah premis tersebut memungkinkan kita untuk menarik
simpulan secara logis (Evans, 2000; Halpern, 2003). Dalam penalaran deduktif, premis-premis mempunyai
salah satu dari dua nilai kebenaran, yaitu benar atau salah. Logika formal memuat
suatu aturan yang dapat digunakan untuk menarik simpulan. Pada topik kedua, yaitu pengambilan keputusan,
merujuk pada penilaian dan pemilihan beberapa alternatif. Kadang-kadang kedua
topik itu mempunyai makna ganda atau membingungkan.
Dalam pengambilan keputusan tidak terdapat aturan
yang benar-benar jelas yang dapat mengarahkan kita memanfaatkan berbagai
informasi untuk menarik simpulan. Lebih jauh lagi, akibat dari keputusan yang
kita ambil tidak langsung terlihat jelas (Evans, Over, & Manktelow, 1993).
Dalam kenyataannya, kita mungkin tidak pernah mengetahui secara pasti apakah sebaiknya
memilih Prof. Ali atau Prof. Ahmad untuk meminta rekomendasi.
Dalam kehidupan nyata, ketidakpastian dalam
pengambilan keputusan lebih sering terjadi daripada ketidakpastian dalam penalaran
deduktif. Bagaimanapun, manusia menemukan bahwa penalaran deduktif dan
pengambilan keputusan merupakan tugas yang sulit, sehingga kita tidak selalu dapat
mencapai simpulan yang tepat.
A. PENALARAN DEDUKTIF
Salah satu jenis penalaran
deduktif adalah penalaran kondisional. Masalah penalaran kondisional (penalaran
proposisional) menginformasikan kepada kita mengenai keterkaitan antara dua kondisi.
Berikut adalah contoh tugas penalaran kondisional.
Jika siswa di universitas ini mengambil mata kuliah psikologi
kognitif maka siswa tersebut telah menyelesaikan perkuliahan metodologi
penelitian.
Kondisi: Niki
belum menyelesaikan perkuliahan metodologi penelitian.
Kesimpulan:
Niki tidak mengambil mata kuliah psikologi kognitif.
Perhatikan bahwa masalah ini menginformasikan
kepada kita mengenai hubungan antara dua kondisi, yaitu terdaftar pada mata kuliah tertentu dan mata kuliah prasyarat. Penalaran kondisional tekait dengan kondisi atau
hubungan "jika ... maka ....". Kita diminta untuk menilai apakah simpulan
yang diambil valid atau tidak. Pada contoh di atas, simpulan "Niki tidak mengambil mata kuliah psikologi
kognitif" adalah valid.
Jenis penalaran deduktif lainnya adalah silogisme. Penalaran silogisme memuat atau
menyediakan dua premis.
Silogisme melibatkan
kuantitas, sehingga digunakan kata-kata semua, tidak ada, beberapa, dan
istilah-istilah lain yang serupa. Berikut adalah contoh penalaran silogisme.
Beberapa pegawai bank
adalah lulusan perguruan tinggi
Beberapa lulusan
perguruan tinggi bersikap ramah
Jadi, beberapa pegawai bank
bersikap ramah
Kita diminta untuk menentukan
apakah simpulan yang diambil valid, tidak valid, atau tidak dapat ditentukan.
Dalam contoh di atas, jawabannya tidak dapat ditentukan. Kenyataannya, pekerja
bank yang lulusan perguruan tinggi dan para lulusan perguruan tinggi yang bersikap ramah merupakan dua populasi yang terpisah, tanpa ada irisan atau keterkaitan. Perhatikan bahwa
pengalaman kita sehari-hari mendorong kita untuk mengatakan "ya, simpulan itu
valid", karena kita tahu bahwa dunia harus berisi paling sedikit beberapa pegawai
bank yang bersikap ramah. Dalam penalaran deduktif yang bersifat abstrak,
bagaimana pun, kita harus menyimpulkan bahwa, "simpulan itu tidak dapat
ditentukan".
Kita dapat menempuh mata kuliah filsafat logika
yang memerlukan waktu satu semester untuk mempelajari penalaran deduktif seperti
ini. Pembahasan dalam bab ini difokuskan pada faktor kognitif yang mempengaruhi
penalaran deduktif. Lebih jauh, kita akan membatasi diri pada penalaran
kondisional, suatu jenis penalaran deduktif yang seringkali lebih mudah dipahami
siswa. Penelitian menunjukkan bahwa penalaran silogisme dipengaruhi secara
virtual oleh faktor-faktor kognitif (Gilhooly, 1996; Madin, 1994). Terlebih
dahulu kita mengeksplorasi 4 landasan dalam tugas penalaran kondisional.
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana penalaran dedukitf dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu kalimat yang melibatkan pernyataan negatif dan kalimat atau masalah
yang bersifat abstrak atau konkrit. Selanjutnya kita akan mendiskusikan 4
kecenderungan kognitif yang sering ditunjukkan orang ketika mereka menyelesaikan
masalah penalaran.
- Tinjauan Penalaran Kondisional
Situasi penalaran
kondisional lebih sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah penalaran
kondisional itu secara mengejutkan sangat sulit untuk diselesaikan secara tepat.
Kita dapat menggunakan prinsip-prinsip formal untuk menyelesaikan masalah-masalah
ini. Tabel 1.1. mengilustrasikan kalkulus proposional, suatu sistem yang
digunakan untuk melakukan kategorisasi terhadap jenis-jenis penalaran yang
digunakan dalam menganalisis proposisi atau pernyataan. Berikut diberikan
penjelasan beberapa istilah dasar. Anteseden adalah pernyataan
yang memuat bagian "jika....". Istilah "konsekuen"
merujuk pada proposisi yang mengikutinya dan merupakan konsekuensinya. Konsekuen
adalah pernyataan yang memuat bagian "maka...". Dalam menyelesaikan
masalah kondisional, kita dapat melakukan dua aksi atau yang mungkin, yaitu (1)
menegaskan suatu bagian kalimat, yaitu menentukan bahwa kalimat tersebut benar dan
(2) menolak atau menyangkal
bagian kalimat, yaitu menentukan bahwa kalimat tersebut salah.
Tabel 12. 1. Kalkulus proposional: Empat jenis penalaran,
dengan contoh”Jika ini apel, maka ini adalah buah”
Aksi
yang diambil
|
Bagian
pernyataan
|
|
Anteseden
|
Konsekuen
|
|
Menegaskan
|
Menegaskan
anteseden (valid)
Ini adalah
apel. Jadi, ini adalah buah
|
Menegaskan
konsekuen (tidak valid)
Ini adalah buah. Jadi, ini adalah apel
|
Menyangkal
|
Menyangkal
anteseden (tidak valid)
Ini bukan apel. Jadi, ini bukan buah
|
Menyangkal
konsekuen (valid)
Ini bukan
buah. Jadi, ini bukan apel
|
Dengan menggabungkan
kedua aksi tersebut, yaitu menegaskan atau menyangkal suatu bagian kalimat, diperoleh
empat situasi penalaran kondisional, yaitu:
v Menegaskan anteseden, artinya pernyataan yang memuat bagian
"jika..." bernilai benar, seperti diperlihatkan di bagian
kiri atas Tabel 12.1. Jenis penalaran ini mengarakan pada simpulan
yang valid atau benar
v Menegaskan konsekuen, artinya pernyataan yang memuat bagian
"maka..." bernilai benar. Penalaran semacam ini mengarah pada simpulan
yang tidak valid. Perhatikan bagian
kanan atas Tabel 12.1. Simpulan bahwa ”ini adalah apel” adalah
tidak valid karena terdapat kemungkinan benda itu adalah buah lain, misalnya buah
pir, jeruk, atau buah-buah lainnya selain apel.
v Menyangkal anteseden, artinya pernyataan
yang memuat bagian "jika..." bernilai salah. Penyangkalan anteseden
juga mengarah pada simpulan yang tidak
valid, seperti yang dapat kita lihat pada bagian kiri bawah Tabel 12.1. Sekali lagi, terdapat
kemungkinan bahwa benda tersebut adalah buah selain apel.
v Menyangkal konsekuen,
artinya
pernyataan yang memuat bagian "maka..." bernilai salah. Perhatikan bagian
bawah kanan Tabel 12.1.
Perhatikan bahwa jenis penalaran ini mengarah pada simpulan yang valid atau benar.
Kita dapat dengan mudah melihat mengapa orang tertarik untuk membenarkan konsekuen.
Dalam kehidupan nyata, kita sering merasa benar ketika membuat kesalahan
penalaran seperti ini (Bell & Staines,1981; Nickerson, dkk, 1985). Misalnya,
perhatikan proposisi "Jika
seseorang adalah penyanyi berbakat, maka dia pasti memiliki kemampuan
bermusik" dan "Paula memiliki kemampuan bermusik". Adalah suatu
“tebakan yang bagus” ketika kita menyimpulkan bahwa Paula adalah seorang
penyanyi berbakat. Bagaimanapun juga, dalam penalaran logika kita tidak dapat
bergantung pada “tebakan yang bagus”. Lebih jauh, saya teringat seorang siswa
yang memiliki kemampuan bermusik sebagai pemain biola, tetapi ia bernyanyi
dengan jelek. Dengan demikian simpulan bahwa ia adalah penyanyi berbakat
menjadi tidak benar. Banyaknya kesalahan kognitif dapat ditelusuri dengan menggunakan
strategi yang tepat. Dalam kasus ini, istilah "Ini adalah tebakan yang bagus"
tidak sama dengan istilah "selalu".
Kita dapat
menguji diri kita dengan menggunakan Demonstrasi 12.1. Tabel 12.1 dapat digunakan apabila mengalami
kesulitan.
Kita perlu
mengingat-ingat, seberapa sering kita menggunakan dua jenis penalaran yang
benar. Misalnya, ketika melihat rambu-rambu lalu lintas yang berbunyi "belok kiri diperbolehkan pada akhir
minggu". Rambu-rambu ini dapat diubah ke dalam bentuk ”jika .. .maka...", yaitu "jika hari ini akhir minggu, maka
diperbolehkan belok kiri ". Kita tahu bahwa hari ini adalah
Sabtu, akhir minggu, dengan motede penegasan anteseden, kita dapat menyimpulkan
bahwa belok kiri diperbolehkan. Serupa dengan hal itu, ketika seorang hakim
berkata "Jika Tom Smith bersalah, ia
akan dipenjara". Ketika kita
tahu bahwa ternyata Tom Smith tidak dipenjara, maka dengan menggunakan metode
penyangkalan konsekuen, kita dapat menyimpulkan bahwa Tom Smith tidak bersalah.
Hendaknya
kita berhati-hati dengan kesalahan logika yang mungkin kita lakukan. Pikirkan
bagaimana kesalahan dalam menyangkal konsekuen dapat menghasilkan simpulan yang
salah dalam kalimat berikut.
Jika
Mary menyukaiku, maka dia akan tersenyum padaku.
Serupa
dengan hal itu, penyangkalan anteseden akan menghasilkan simpulan yang salah dalam
kalimat berikut.
Jika saya mendapatkan nitai
D dalam test ini, maka saya akan mendapatkan D untuk nilai akhir saya.
Jenis penalaran kondisional yang mudah
dipahami adalah penegasan anteseden. Sedangkan tiga jenis lainnya
menantang untuk dikaji (Gilhooly, 1996).
Kita perlu memperhatikan bahwa beberapa proses
kognitif saling berkaitan. Kemampuan kita dalam tugas penalaran kondisional
secara langsung mengilustrasikan hal ini. Misalnya, penalaran kondisional memerlukan
keterampilan berbahasa. Sebagaimana disajikan di Bab 8, orang seringkali menyimpulkan
dengan menggunakan logika ketika mereka membaca suatu cerita. Lebih jauh lagi,
penelitian membenarkan bahwa penalaran kondisional menyandarkan pada memori
kerja (working memory), terutama pada bagian tengah komponen executive
woking memory, yang dibahas di Bab 3. (Gilhooly, 1998, Rips, 1995). Kita menduga
bahwa tugas memori kerja akan menjadi berat khususnya ketika mengolah beberapa
proposisi yang memuat pernyataan atau istilah negatif dibandingkan jika hanya menggunakan
pernyataan positif. Beratnya tugas memori kerja juga terjadi ketika menglah
atau menyelesaikan masalah yang bersifat abstrak dibandingkan jika masalah
tersebut bersifat konkrit. Berikut akan dibahas dua topik ini sebelum mengemukakan
beberapa kecenderungan kognitif terkait tugas-tugas penalaran kondisional.
- Kesulitan dengan Informasi Negatif
Di Bab 3
dikemukakan bahwa orang dapat memahami informasi positif dengan lebih baik
daripada informasi negatif. Prinsip ini seringkali benar untuk tugas penalaran kondisional.
Misalnya, contoh perhatikan penalaran berikut kondisional berikut.
Jika hari ini
bukan Jumat, maka pegawai kantor tidak memakai baju bebas.
Hari ini pegawai kantor tidak memakai baju
bebas.
Jadi, hari ini bukan Jumat.
Masalah seperti
ini lebih menantang dibandingkan dengan masalah serupa yang dinyatakan dengan "Jika
hari ini adalah hari Jumat...."
Penelitian
menunjukkan bahwa orang memerlukan waktu lebih lama untuk mengevaluasi masalah
yang memuat informasi negatif. Orang juga lebih sering melakukan kesalahan
dalam jenis masalah ini (Garnham & Aokhil, 1994; Johnson Laird, dkk, 1992;
Novec & Politzer, 1998, Ormerod, dkk, 1993). Memori kerja (working
memory) cenderung menegang ketika menemui masalah yang melibatkan
penyangkalan anteseden atau penyangkalan konsekuen. Sebagian besar kita berpikir
lebih keras ketika menjumpai masalah penalaran yang yang melibatkan pernyataan
seperti "adalah tidak benar bahwa hari ini bukan Jumat". Kita
seringkali melakukan kesalahan dalam mengubah pernyataan itu ke dalam bentuk
positif.
- Kesulitan dengan Masalah Penalaran Abstrak
Pada
umumnya, orang dapat memecahkan masalah penalaran yang melibatkan contoh
konkrit terkait dengan aktivitas sehari-hari dengan lebih akurat dibandingkan
ketika menyelesaikan masalah yang bersifat teoritis dan abstrak. Misalnya, kita
mungkin mudah memahami contoh pada Demonstrasi12.1. Sebaliknya, masalah penalaran yang singkatpun akan lebih sulit diseleseaikan apabila melibatkan hal abstrak dengan karakteristik
yang berubah-ubah (Manktelow, 1999; Wason & Johnson-Laird, 1972).
Perhatikan contoh berikut.
Jika suatu objek berwarna merah, maka objek
itu persegi panjang.
Objek ini bukan persegi
panjang.
Jadi, objek ini tidak berwarna
merah. (valid atau tidak
valid?)
Secara insidental,
jawaban masalah ini terdapat pada Demonstrasi 12.2. Penelitian lain menunjukkan bahwa orang dapat menyelesaikan masalah
dengan lebih akurat apabila masalah itu melibatkan objek yang mudah dibayangkan
(Clement & Falmagne, 1986). Lebih jauh, keakuratan akan meningkat ketika
orang menggunakan diagram untuk menyajikan masalah menjadi lebih konkrit (Bauer
& Johnson Laird, 1993; Halpern, 1996). Namun demikian, kadang-kadang masalah
penalaran akan menjadi lebih sulit diselesaikan apabila menggunakan atau
dipengaruhi kaidah-kaidah logika. Berikut akan dijelaskan penggunaan
kaidah-kaidah ini dan pengaruh bias kepercayaan.
- Efek Bias Kepercayaan
Dalam
kehidupan kita sehari-hari di luar laboratorium psikologi, latar belakang
pengetahuan memengaruhi dalam penyelesaian masalah penalaran. Dalam
laboratorium psikologi dan dalam kursus psikologi, latar belakang pengetahuan ini
bersifat kontraproduktif. Misalnya, perhatikan contoh masalah penalaran berikut.
(Cummins, dkk, 1991).
Jika jari saya
terpotong, maka jari saya akan berdarah.
Jari saya
berdarah
Jadi, jari saya terpotong
Dalam kehidupan
sehari-hari, simpulan itu tampaknya benar. Jika jari kita berdarah, maka
penjelasan yang paling umum adalah terkait dengan kejadian terpotongnya jari.
Bagaimanapun, dalam dunia logika, masalah terpotongnya jari terkait dengan kesalahan
penegasan konsekuen, sehingga simpulan itu tidak benar. Cummins dkk (1991) menemukan
bahwa orang sering menerima logika sebagai sesuatu yang bernilai benar ketika terdapat beberapa penjelasan alternatif dan ketika simpulan
sesuai dengan akal sehat mereka. Serupa dengan hal itu, akal sehat mendorong
kita untuk memutuskan bahwa simpulan yang diambil adalah valid untuk silogisme
“pegawai bank yang ramah” sebagaimana disajikan terdahulu. Sebaliknya, peneliti
ini menemukan bahwa orang sering menangkap adanya kekurarangan dalam logika
ketika terdapat banyak penjelasan alternatif yang mungkin menolak, seperti
contoh berikut.
Jika
saya sering makan permen, maka gigi saya sakit.
Gigi
saya sakit,
Jadi, saya
sering makan permen.
Efek bias
kepercayan terjadi dalam penalaran ketika orang membuat penilaian yang
didasarkan pada kepercayaan terdahulu atau yang dimiliki dibandingkan kesesuaiannya dengan kaidah logika
(Quinn & Markovits, 1998; Rips, 1995). Pada umumnya, orang lebih sering
membuat kesalahan ketika logika dalam masalah penalaran bertentangan dengan
latar belakang pengetahuan mereka (Evans, Newstead & Byrne, 1993;
Manktelow, 1999; Newstead, dkk, 1992).
Ketika orang mengalami kesulitan dalam tugas penalaran kondisional, mereka
mencari petunjuk atau cara lain. Jika suatu simpulan tampak meyakinkan, mereka
berkeyakinan bahwa proses penalaran yang dilakukan juga benar (Rips, 1995).
Efek bias
kepercayaan merupakan salah satu dari sekian banyak contoh proses top-down.
Harapan terdahulu kita membantu kita mengorganisasikan pengalaman dan
pemahaman mengenai lingkungan atau dunia. Ketika kita melihat suatu pernyataan
yang tampak familiar dalam masalah penalaran, kita tidak memberikan perhatian
yang cukup pada proses penalaran yang menghasilkan pernyataan itu. (M.S. Cohen,
1993).
Beberapa
peneliti telah mengidentifikasikan perbedaan individual yang mendasar terkait kemampuan
orang dalam menduga adanya efek bias kepercayaan. Khususnya, orang dipengaruhi oleh
efek bias kepercayaan jika mereka mendapat skor rendah pada suatu tes mengenai kemampuan
berpikir fleksibel (Stanovich 1999, Stanovich & West 1997,1998). Orang-orang
ini tampaknya setuju dengan pernyataan seperti "Tidak ada orang yang dapat berbicara pada saya di luar sesuatu yang
saya ketahui benar”. Sebaliknya, orang yang berfikir fleksibel
setuju dengan pernyataan seperti “Orang hendaknya
selalu memperhatikan yang jelas yang bertentangan dengan kepercayaan mereka. Tipe
orang-orang seperti ini dapat menyelesaikan masalah penalaran dengan benar,
tanpa dipengaruhi oleh efek bias kepercayaan.
- Membuat Konversi yang Salah (Tidak Sah).
Kesalahan interpretatif
lainnya yang sering dilakukan orang dalam masalah penalaran kondisional adalah
terkait dengan konversi yang salah. Terjadinya konversi tidak sah terkait
dengan ketidakmampuan kita mengubah dengan tepat suatu masalah ke dalam bentuk
lain yang ekuivalen. Wason and Johnson-Laird (1972) menunjukkan bagaimana hal
ini terjadi ketika orang menggunakan metode penyangkalan anteseden, suatu
metode yang tidak valid. Bentuk umum metode ini adalah sebagai berikut.
Jika p maka q.
p tidak benar.
Jadi, q tidak benar
Masalahnya adalah orang seringkali menggunakan
konversi tidak sah ketika mereka melihat pernyataan pertama. Mereka menganggap
bahwa jika p maka q, sama dengan pernyataan lain, yaitu jika q maka p.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering
menggunakan konversi tidak sah dan mungkin mencapai simpulan yang benar. Misalnya,
andaikan asrama tempat kita tinggal memberikan sarapan pagi yang berbeda setiap
harinya selama satu minggu. Andaikan seorang teman mencoba menebak sarapan apa
yang akan diberikan pada hari tertentu, dan ia mengatakan, “Jika hari ini hari
Selasa, maka kita akan sarapan kue dadar”. Anda dapat menyimpulkan secara
rasional bahwa dua bagian pernyataan itu dapat dikonversi untuk menghasilkan
pernyataan “Jika kita sarapan kue dadar, maka hari ini adalah Selasa”.
Bagaimanapun juga, dalam tugas penalaran formal, tidak seperti dalam kehidupan
sehari-hari, kita harus menganggap bahwa kue dadar mungkin diberikan lebih dari
satu kali dalam seminggu.
- Bias Konfirmasi
|
Lakukan
percobaan pada Demonstrasi 12.2 terlebih dahulu sebelum membaca uraian selanjutnya. Permainan atau tugas
seleksi Wason (1968) telah memberikan inspirasi banyak penelitian daripada
masalah penalaran deduktif lainnya. Ide ini juga menghasilkan banyak pertanyaan
mengenai apakah orang secara mendasar bersikap rasional (Ahn & Gram, 1999;
Johnson-Laird, 1999). Terlebih dahulu kita perlu memperhatikan atau melihat versi
asli dari tugas terseleksi ini dan selanjutnya kita akan melihat bagaimana
orang melakukan tugas yang bervariasi dengan baik.
Tugas Seleksi Wason Standar
Demonstrasi
12.2 merupakan versi asli Tugas Seleksi Wason. Wason (1968)
menemukan bahwa orang telah memperlihatkan
bias konfirmasi dalam hal ini. Mereka lebih memilih untuk mencoba menyetujui atau
menegaskan suatu hipotesis daripada tidak menyetujuinya (Halpern 2000 Kayman &
Ha, 1996; Manktelow, 1999). Sebagian besar orang yang bekerja pada Tugas Seleksi
ini memilih untuk membalik Kartu E. Kajian literatur menunjukkan bahwa lebih
dari 89% perserta penelitian memilih strategi ini (Oaksford dan Chatter, 1994).
Strategi ini memungkinkan mereka menyetujui atau menegaskan hipotesis dengan
metode yang valid, yaitu menegaskan anteseden, karena kartu ini menunjukkan
vokal pada salah satu sisinya. Jika kartu ini menunjukkan angka genap pada sisi
lainnya, maka aturan itu benar. Namun jika sisi lainnya menunjukkan angka ganjil,
berarti aturan itu salah.
Metode valid lainnya dalam
penalaran deduktif adalah metode penyangkalan konsekuen. Untuk
maksud ini, Anda harus memilih untuk membalik kartu yang salah satu sisinya
menunjukkan angka 7. Informasi
mengenai sisi lainnya akan sangat bernilai. Perhatikan kembali aturannya.
Jika suatu kartu menunjukkan huruf vokal
pada salah satu sisinya, maka sisi lainnya akan menunjukkan genap.
Untuk menyangkal konsekuen,
kita perlu memeriksa sebuah kartu yang tidak menunjukkan angka genap pada salah
satu sisinya, yaitu kartu 7. Dengan kata lain, kita harus memeriksan kartu 7. Berdasarkan
penelitian, lebih dari 89% peserta memilih metode penegasan anteseden.
Bagaimanapun juga, mereka enggan untuk menyangkal konsekuen karena mereka perlu
meneliti atau memberikan contoh penyangkal. Sebenarnya, strategi ini merupakan
strategi yang bijaksana untuk menolak hipotesis, tetapi sebagian besar orang
mengabaikan pilihan ini. Berdasarkan
literatur, hanya 25% peserta penelitian yang memilih strategi valid ini. (Oaksford
dan Cahter, 1994).
Anda mungkin bertanya mengapa
tidak perlu memeriksa kartu J dan kartu 6. Jika Anda membaca ulang aturannya, maka
Anda akan menemukan bahwa aturannya tidak mengatakan apapun tentang konsonan, seperti
J. Sisi lain dari J mungkin menunjukkan angka ganjil, angka genap, atau bahkan suatu
lukisan. Kita tidak perlu memedulikan hal itu. Penelitian menunjukkan bahwa
orang secara tepat sering mengabaikan pilihan ini dan hanya 16% peserta yang
memilih pilihan ini (Oaksford and Chater, 1994). Perhatikan juga bahwa aturaran
itu juga tidak menjelaskan apa yang harus muncul di balik kartu bertuliskan angka
genap, seperti 6. Namun demikian, terdapat 62% peserta yang memilih untuk membalik
kartu 6 (Oaksford & Chater, 1994). Orang seringkali melakukan konversi
tidak sah dalam aturan ini, sehingga aturan itu dibaca ”Jika sisi kartu menunjukkan
angka genap, maka sisi lainnya menunjukkan huruf vokal”. Jadi, mereka melakukan
kesalahan dengan memilih kartu yang menunjukkan angka 6 pada salah satu
sisinya.
Pada Tugas Seleksi,
kita melihat bahwa orang yang diberikan pilihan akan memilih informasi positif
daripada informasi negatif. Kecenderungan begitu kuat. Bahkan orang dengan
gelar doktor tampak tidak lebih baik daripada orang dengan gelar sarjana dalam
menjawab dengan benar soal seperti itu (Jackson & Griggs, 1988).
Variasi Tugas Seleksi Wason
Akhir-akhir ini banyak peneliti yang memberikan Tugas
Seleksi dengan banyak variasi. Meskipun hanya terdapat perubahan yang
sangat halus dari Tugas Seleksi Klasik, misalnya dalam susunan kalimat, dapat memberikan
hasil yang secara dramatis berbeda (Jackson & Griggs, 1990; Markovits &
Savary, 1992). Perintah hati-hati terkait penalaran kondisional dapat juga
mempunyai dampak (Griggs,1995; Griggs & Jackson, 1990; Platt & Griggs,
1993a, 1995).
Terdapat banyak penelitian yang
melakukan variasi terhadap Tugas Seleksi Klasik, misalnya mengganti bilangan
atau huruf pada kartu dengan informasi yang konkrit. Dapat Anda duga bahwa kinerja
atau kemampuan peserta akan lebih baik ketika tugas melibatkan informasi konkrit,
familiar, dan realisti (Evans and Over, 1996; Pollard and Evans, 1987).
Mari kita perhatikan suatu studi
mengenai keterwakilan (representativeness) yang mendemonstrasikan
bagaimana bagusnya orang dalam tugas yang melibatkan hal yang konkrit, daripada tugas standar yang abstrak sebagaimana
dapat dilihat pada Demonstrasi 12.2. Griggs and Cox (1982)
menguji mahasiswa di Florida menggunakan variasi Tugas Seleksi. Tugas ini memfokuskan
pada topik batas usia mulai diperbolehkanya meminum minuman keras di wilayah
Florida, yaitu umur 19 tahun. Perhatikan bahwa masalah ini menjadi lebih
konkrit dan relevan bagi mahasiswa tersebut. Mahasiswa, partisipan dalam
penelitian ini, diminta untuk memperhatikan masalah sebagai berikut.
Bayangkan
Anda adalah seorang polisi yang sedang bertugas. Tugas Anda adalah meyakinkan orang
untuk mematuhi suatu aturan tertentu. Kartu di depan Anda memilki informasi mengenai
empat orang yang duduk pada suatu meja. Pada salah satu sisi kartu tertera umur
seseorang dan di sebaliknya adalah jenis minuman yang diminum oleh orang
tersebut. Berikut aturannya. Jika seseorang minum bir, maka orang tersebut
berumur lebih dari 19 tahun. Pilih sebuah kartu atau beberapa kartu yang harus
dibalik untuk memastikan ada tidaknya orang yang melanggar aturan.
Empat kartu
disajikan dengan setiap sisinya berturut-turut bertuliskan: minum bir, minum soda
(cola), usia 16 tahun, dan usia 22 tahun.
Griggs dan Cox menemukan bahwa 73% mahasiswa yang diberikan
Tugas Seleksi yang telah dimodifikasi, yaitu terkait batas umur
diperbolehkannya meminum minuman keras memberikan pilihan yang benar. Sebaliknya
sebanyak 0% mahasiswa diberikan Tugas Seleksi standar dan
abstrak. Perhatikan bahwa terdapat perbedaan yang dramatis dari penampilan peserta
ketika mengerjakan tugas yang bersifat abstrak dibandingkan tugas yang bersifat
konkrit yang terkait berbagai norma sosial (Cosmides, 1989, Cosmides and Tooby,
1995). Hasil ini mengindikasikan bahwa kita lebih kompeten atau terampil
terhadap jenis tugas yang terkait interaksi kooperatif dalam masyarakat,
misalnya terkait batas usia diperbolehkannya meminum minuman keras. Sebaliknya
kita kurang terampil terhadap tugas yang tidak terkait dengan interaksi sosial,
misalnya tugas yang melibatkan pemilihan angka atau huruf. (Evans & Over,
1996).
Bagaimana kita dapat mengaplikasikan
atau menterjemahkan bias konfirmasi ke dalam pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari? Salah satu contoh dari hal itu adalah ketika konsumen lebih mudah mengingat
merek favorit yang dikenal. Coba perhatikan kebiasaan Anda sendiri ketika Anda
meneliti atau mencari bukti atau petunjuk. Apakah Anda secara konsisten mencari
informasi yang akan menegaskan atau mendukung bahwa Anda benar atau Anda berani
mengikuti cara yang memungkinkan simpulan Anda salah?
Bias konfirmasi juga terjadi
dalam kebijakan atau politik internasional. Sebagai contoh, dalam konflik
antara dua negara, pemerintah dari tiap negara selalu mencari dukungan bagi
posisinya (Baron, 1998). Tiap negara juga menghindari mencari informasi yang
memungkinkan dapat memberikan dampak bahwa posisinya mungkin saja salah. Juga,
bias konfirmasi merupakan hal yang lumrah terjadi di ruang sidang. Para hakim yang
meyakini bahwa tersangka bersalah, jarang mencari bukti yang akan menunjukkan
bahwa mungkin saja ia tidak bersalah (Halpern, 2000).
- Kegagalan Mentransfer Pengetahuan ke Tugas Baru
Sejauh ini
kita telah melihat bagaimana orang berusaha menyelesaikan masalah penalaran kondisional
yang melibatkan informasi abstrak dan negatif. Keakuratan orang dalam mengambil
simpulan juga berkurang disebabkan oleh efek bias kepercayaan. Selain itu, orang
juga membuat konversi yang tidak sah, dan mencoba menegaskan atau membenarkan
hipotesis mereka. Mungkin Anda dapat memprediksi sumber kesalahan yang akan dibahas
di sini, berdasarkan informasi pada Pemecahan Masalah di Bab 10. Pada bab itu,
kita melihat bahwa orang mempunyai masalah dalam mengapresiasi kesamaan antara suatu
masalah matematika yang sedang mereka hadapi dengan masalah yang telah mereka
selesaikan sebelumnya. Serupa dengan hal itu, orang juga memiliki masalah dalam
mengapresiasi kesamaan antara dua versi tugas seleksi sebagaimana diilustrasikan
dalam Demonstrasi 12.2 (Klacskinky dkk, 1989). Penelitian lain telah
memperlihatkan bahwa meskipun siswa yang belajar secara formal mengenai logika
dalam kelas psikologi, tetap mempunyai kesulitan dalam menerapkan pengetahuan
mereka dalam situasi baru. (Salmon, 1991).
Tinjauan
mengenai penalaran kondisional ini tidak memberikan banyak kejelasan mengenai
Tema 2 dalam buku ini. Setidaknya, dalam laboratorium psikologi, orang sering tidak
akurat ketika menyelesaikan masalah berbentuk "jika... maka ...". Namun
demikian, keadaan dalam kehidupan sehari-hari lebih bervariasi, lebih konkrit.
Penalaran deduktif merupakan tugas yang sulit. Kita sering tidak efisien dan
akurat ketika mengerjakan tugas ini dibandingkan ketika mengerjakan tugas
terkait persepsi dan memori, dua bidang yang secara umum orang sangat kompeten.
RANGKUMAN PENALARAN DEDUKTIF
- Penalaran kondisional memfokuskan pada bentuk "jika...maka...". Kemampuan orang lebih akurat untuk dua kategori valid, yaitu menegaskan (daripada menyangkal) pernyataan dan untuk informasi konkrit (daripada informasi abstrak).
- Efek bias kepercayaan mengganggu atau mempengaruhi penalaran kondisional. Efek bias kepercayaan mendorong orang untuk mempercayai pengetahuan awal mereka daripada memperhatikan kaidah-kaidah logika.
- Kesalahan lain yang sering dilakukan dalam penalaran deduktif dilakukan ketika melakulan konversi yang tidak valid, yaitu orang secara tidak tepat mengkorversi premis ”jika p maka q” menjadi bentuk ”jika q maka p”.
- Lebih lanjut, kegagalan orang dalam tugas penalaran deduktif disebabkan oleh bias konformasi, yaitu orang hanya mencoba untuk menegaskan atau membenarkan hipotesis mereka daripada mencoba untuk menolaknya.
- Berbagai factor dapat mempengaruhi kemampuan orang pada Tugas Seleksi Wason. Keakuratan bertambah ketika tugas terkait dengan informasi yang bersifat konkrit, misalnya terkait dengan suatu aturan atau hukum pemerintah atau norma sosial.
- Orang sering gagal mentransfer pengetahuan mereka ke dalam tugas baru.
- Meskipun orang tidak melakukan dengan baik tugas penalaran deduktif dalam laboratorium psikologi, tetapi keakuratan mereka akan bertambah dalam situasi sehari-hari yang lebih realistik.
B.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Sebagaimana telah Anda lihat, penalaran deduktif menggunakan
aturan yang sudah mapan untuk mengambil suatu simpulan. Sebaliknya, ketika kita
akan mengambil keputusan, kita tidak punya aturan yang mapan seperti itu. Kita
juga tidak mengetahui secara pasti apakah keputusan yang kita ambil benar (Klein
1997; Tversky and Fox, 1995). Anda mungkin kehilangan beberapa informasi
penting dan mungkin tidak mempercayai informasi lain. Ketika ditanya, apakah Anda
akan melanjutkan kuliah atau langsung mencari pekerjaan setelah lulus nanti?
Apakah Anda akan mengambil mata kuliah Psikologi Sosial di pagi hari atau sore
hari? Proses pengambilan keputusan tidak didukung oleh aturan-aturan (seperti
kalkulus proposional) yang dapat membantu kita dalam menilai secara relatif terhadap
suatu pilihan.
Pengambilan keputusan merupakan
bidang interdisipliner yang terkait dengan berbagai bidang, seperti ekonomi,
politik, sains, sejarah, sosiologi, statistika, filsafat, dan banyak bidang
lainnya (Shafir 1999). Dalam bidang psikologi, pengambilan keputusan telah menginspirasikan
banyak buku dan artikel setiap tahunnya. Misalnya, beberapa buku terkini
memberikan tinjauan secara umum mengenai pengambilan keputusan (Bernstein,
1996; Gldstein & Hogardi, 1996b; Hammound, 1996; Klein, 1998; Zsambok &
Klein, 1997). Buku lainnya memfokuskan pada isu-isu yang lebih spesifik,
seperti pengambilam keputusan secara moral (Baron, 1998), latihan secara individual
untuk memutuskan sesuatu yang berisiko tinggi (Cannon-Bowers & Salas,
1998), dan perkembangan pengambilan keputusan bagi anak dan remaja (Byrnes,
1998). Secara umum, penelitian terkait pengambilan keputusan menguji skenario
realistik dan konkrit daripada situasi abstrak yang digunakan dalam penalaran
deduktif (Goldstein and Hogarth,1996).
Topik pengambilan keputusan menekankan
pada heuristik pengambilan keputusan. Sebagaimana kita ketahui dari bab
sebelumnya, heuristik merupakan strategi umum yang sering digunakan untuk dapat menghasilkan solusi yang dianggap benar. Bagaimanapun juga, kita seringkali gagal
untuk mengapresiasi keterbatasan heuristik ini, sehinggga kita merasa tidak
selalu membuat keputusan yang bijaksana. Pada bab ini, kita akan sering melihat
nama dua peneliti, yaitu Daniel Kahneman dan Amos Tversky. Dua peneliti ini menyatakan
bahwa sebagian petunjuk heuristik akan membantu kita dalam mengambil keputusan.
Mereka menekankan bahwa meskipun strategi ini dapat mengarahkan kita pada
keputusan yang benar, tetapi mungkin berapa kali dapat mengarahkan kita pada
kegagalan (Kahneman & Tversky, 1996).
Pada beberapa bagian dalam bab
ini, kita akan mendiskusikan banyak penelitian yang mengilustrasikan kesalahan
dalam pengambilan keputusan. Kesalahan-kesalahan ini seharusnya tidak mengarahkan
kita untuk menyimpulkan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang terbatas. Bagaimanapun
juga, kemampuan membuat keputusan secara heuristik memungkinkan manusia untuk menyelesaikan
masalah dalam rentang yang luas (Kahneman and Tversky, 1996; Nisbett and Ross, 1980)
Bagaimanapun juga, kesamaan heuristik ini menjadi suatu kekurangan ketika diterapkan
dalam area yang melebihi area tersebut. Psikologi kognitif tertarik dengan
pengambilan keputusan yang seringkali mendorong terjadinya kesalahan (Tobins
and Craik 1993) Penekanan pada sesuatu yang dapat saja menjadi salah sejajar
dengan persepsi peneliti mengenai ilusi visual. Nisbet dan Ross (1980) menjelaskan dalam buku
klasik mereka sebagai berikut.
Para peneliti persepsi telah menunjukkan
bahwa “meskipun”, penyebab yang terlalu besar, dan kapasitas perceptual
seseorang yang hebat merupakan subjek untuk memastikan ilusi perseptual. Tidak
ada ilmuwan yang secara serius menyimpulkan bahwa sistem perseptual pada penelitian
ini secara inheren salah. Serupa dengan hal itu, kita menyimpulkan dari
penelitian kita sendiri bahwa kita mengobservasi perangkat kognitif yang secara
inhern salah, tetapi lebih pada orang yang memanifestasikan aliran kejelasan
tertentu. Memang, dalam simpulan manusia terkait persepsi, kita menduga bahwa
banyak kegagalan orang akan membuktikan relasi yang kuat atau dekat, atau
bahkan biaya yang tak dapat dihindarkan dari kekuatan terbesar mereka.
Kita akan mengeksplorasi tiga jenis
heuristik pengambilan keputusan, yaitu heuristik keterwakilan (representativeness
heuristic), heuristik ketersediaan (availability heuristic), dan heuristik
Pembuatan acuan dan penyesuaian (anchoring & adjustment heuristic).
Selanjutnya, dalam diskusi mengenai pengkerangkaan (framing), kita akan
memikirkan bagaimana susunan kata dan konteks mempengaruhi keputusan.
Berikutnya, pada bagian “Pendalaman” kita akan mengeksplorasi bagaimana kita
sering terlalu percaya diri atau terlalui yakin (overconfidecet) ketika
membuat keputusan. Kita juga akan memikirkan bias peninjauan ulang (hindsight
bias), suatu fenomena yang berkaitan dengan hal terlalu percaya diri (overconfidence).
Akhirnya, kita akan menentukan beberapa pendekatan baru dalam pengambilan
keputusan.
- Heuristik Keterwakilan (Representativeness Heuristic)
Terdapat peristiwa yang secara kebetulan dan istimewa terjadi kebetulan
terjadi, yaitu Presiden Abraham Lincoln dipilih menjadi anggota Kongres pada
tahun 1846 dan terpilih menjadi presiden pada tahun 1860. Presiden John F.
Kennedy, presiden yang tertembak mati, terpilih menjadi anggota Kongres pada
tahun 1946 dan menjadi presiden pada tahun 1960. Banyak orang yang mempelajari
pola kejadian ini dan meyakini sebagai keharmonisan yang misterius di alam
semesta (Paulo, 1989). Bagaimanapun juga, peristiwa kebetulan itu tidak cukup
acak untuk dijelaskan.
Sekarang perhatikan contoh berikut. Misalnya sebuah koin uang logam yang
mempunyai sisi Gambar (G) dan Angka (A) dilambungkan sebanyak enam kali. Hasil
manakah yang lebih sering muncul: GAAGAG atau GGGAAA?
Jika Anda seperti kebanyakan orang, maka Anda akan menebak bahwa GAAGAG
akan lebih sering muncul. Anda tahu bahwa pada pelambungan koin uang logam akan
menghasilkan gambar dan angka dengan urutan acak. Perhatikan bahwa urutan GAAGAG
tampak lebih acak daripada urutan GGGAAA.
Sebuah sampel tampak representatif jika ia serupa dalam karakteristik
penting dari populasi di mana ia dipilih. Misalnya, jika sebuah sampel diperolah
melalui proses random atau acak, maka sampel itu harus tampak acak dalam
urutannya, sehingga orang akan mengatakan bahwa sampel itu representatif. Dengan
demikian urutan GAAGAG adalah sampel yang dinilai lebih representatif, karena banyaknya
kemunculan gambar dan angka adalah sama. Urutan GAAGAG juga dinilai
representatif karena urutan G dan A tampak lebih acak.
Menurut
Kahneman dan Tversky (1972), kita sering menggunakan heuristik keterwakilan,
yaitu kita menilai bahwa suatu sampel lebih disukai jika ia menyerupai populasi
dari mana sampel tersebut diambil. Proses kognitif kita sangat luar biasa
terampil dalam menilai kesamaan, sehingga hal ini secara khusus memberikan atau
membuat sense kepada kita untuk mengeluarkan kemampuan tersebut dengan
menggunakan heuristik keterwakilan (Sloman 1999).
Terdapat
cara lain dalam memandang keterwakilan dikaitkan dengan topik yang telah
didiskusikan di Bab 7. Suatu sampel tampak representatif jika sampel itu
menyerupai suatu prototipe. Sampel AGGAGA tampak menyerupai prototipe sampel
koin uang yang dilambungkan, sementara sampel GGGAA tidak.
Menurut heuristik keterwakilan, kita memercayai
bahwa hasil acak lebih disukai daripada hasil yang teratur, selama hasil
tersebut diperoleh melalui proses acak. Dalam kenyataan, bagaimanapun juga,
suatu proses acak, kadang-kadang menghasilkan suatu hasil yang tampak teratur. Misalnya,
ketika kasir memberikan uang kembalian sebesar Rp55.550, maka biasanya kita akan
tergelitik untuk menyeledikinya dibandingkan jika kembaliannya adalah Rp. 53.250
karena hal itu tampak lebih acak.
Kahneman dan Tversky (1972) melakukan beberapa
percobaan yang menekankan pentingnya keterwakilan. Dalam salah satu penelitian,
misalnya, mereka meminta orang untuk menerka tentang sebuah keluarga dengan
enam orang anak. Orang lebih cenderung menduga urutan anak-anak tersebut adalah
PLLPLP (P: perempuan; L: laki-laki) daripada urutan LLLPPP. Orang mendasarkan
keputusannya pada ide keterwakilan daripada probabilitas sesungguhnya.
Ketika memperhatikan percobaan pelambungan koin
dan urutan kelahiran anak, kita menekankan kesamaan dalam istilah urutan
kejadian acak. Pada kejadian lain, kita mungkin menyimpulkan atau menentukan
kesamaan dalam istilah beberapa karakteristik yang berbeda. Dalam banyak kasus,
heuristik keterwakilan merupakan strategi yang bijaksana. Kunda (1999)
menyatakan bahwa "sesuatu yang tampak seperti bebek, berjalan seperti
bebek, dan suara seperti bebek adalah sangat mirip bebek”. Keterwakilan
mungkin berguna ketika kita menerka binatang, buah-buahan, dan kategori konseptual
lainnya seperti yang kita diskusikan di Bab 7. Bagaimanapun juga, keterwakilan
seringkali mendorong kita untuk melakukan kesalahan ketika mencoba menerka atau
menyimpulkan kategori yang lebih kompleks, seperti manusia. Seseorang Amerika-Eropa,
kaum hartawan, dan penjahat kriminal, mungkin tampak merepresentasikan orang
Amerika Serikat. Namun demikian, dapat juga banyak anggota Demokrat yang juga
sesuai dengan deskripsi itu (Kunda, 1999).
Mungkin masalah utama dalam menggunakan heuristik keterwakilan
adalah bahwa heuristik sangat persuasif yang seringkali membuat kita
mengabaikan informasi secara statistik yang harus kita pertimbangkan juga
(Fischoff, 1999, Kunda, 1999). Dua jenis informasi statistik yang berguna itu
adalah ukuran sampel dan angka dasar.
Ukuran Sampel dan Keterwakilan
Ketika kita membuat suatu
keputusan, keterwakilan merupakan heuristik yang seringkali memaksa kita untuk mengabaikan
memperhatikan ukuran sampel. Misalnya, bagaimana Anda menjawab Demonstrasi 3?
Ketika Kahneman dan Tversky (1972) memberikan pertanyaan ini kepada mahasiswa, sebanyak
56% mahasiswa menjawab "hampir sama". Dengan kata lain, sebagian
besar mahasiswa tersebut berpikir bahwa rumah sakit yang besar maupun yang kecil
adalah hampir sama melaporkan bahwa paling sedikit 60% bayi laki-laki lahir
pada hari yang ditentukan. Jadi, mereka mengabaikan ukuran sampel.
Da1am kehidupan nyata,
bagaimanapun, ukuran sampel merupakan karakteristik penting yang harus
diperhatikan ketika membuat keputusan. Dibandingkan dengan sampel kecil, sampel
besar secara statistik lebih menggambarkan proporsi populasi yang sesungguhnya.
Misalnya, jika terdapat 50% dari semua bayi adalah laki-laki dalam suatu
populasi, maka sampel berukuran besar pasti akan mendekati 50% bayi laki-laki. Sebagai
contoh, tidak sama bahwa 40 dari 45 bayi di rumah sakit besar (kira-kira 90%)
adalah laki-laki. Hal ini lebih mirip dengan sebanyak 90% bayi di rumah sakit
kecil adalah laki-laki; 13 bayi laki-laki dari 15 bayi adalah hasil yang tidak
biasa. Bagaimanapun juga, orang sering tidak menyadari bahwa penyimpangan atau
deviasi dari suatu proporsi populasi lebih tergambarkan pada sampel kecil. Keterwakilan
sering membimbing keputusan mereka: penyimpangan dari keterwakilan, seperti
lebih dari 60% bayi laki-laki, akan tampak mirip, baik pada sample kecil maupun
sampel besar.
Kahnemann dan Tversky (1971) menyatakan bahwa kita
hendaknya mempercayai hukum bilangan besar (law of large
numbers) yang menyatakan bahwa sampel besar akan mewakili populasi dari
mana mana sampel tersebut dipilih. Hukum Bilangan Besar merupakan
hukum yang benar. Bagaimanapun juga, kita sering melakukan kekeliruan sampel
kecil dengan mengasumsikan bahwa sampel kecil mewakili populasi dari mana mereka
diambil (Poulton 1994). Sayangnya, kekeliruan sampel kecil dapat mengarahkan
kita pada simpulan yang tidak tepat.
Kita
sering melakukan kekeliruan sampel kecil dalam situasi sosial sebagaimana
terkait masalah statistik yang relatif abstrak. Misalnya, kita mungkin menarik
simpulan yang tidak disadari mengenai suatu kelompok orang yang didasarkan pada
sedikit orang (Hamilton & Sherman, 1994). Kita sering membentuk stereotip
ketika kita jatuh pada kekeliruan sample kecil. Salah satu cara efektif untuk
melawan stereotip yang tidak sesuai adalah dengan melibatkan sekelompok besar
orang dari target atau tujuan tertentu. Misalnya, melalui program pertukaran
dengan kelompok orang dari negara lain.
Dalam beberapa
kasus, bagaimanapun, orang secara tepat menyukai hukum sampel besar tidak
melakukan kekeliruan sampel kecil (Poulton 1994). Misalnya, orang yang ahli
dalam bidangnya (expert) tidak melakukan kekeliruan sampel kecil. Dalam
suatu penelitian, orang yang berpengalaman dengan olahraga beregu, secara tepat
menggunakan hukum sampel besar untuk memprediksi (memperkirakan) probabilitas
hasil suatu pertandingan sepak bola (Kunda clan Nisbett 1986). Fong dkk (1986)
menemukan bahwa orang dapat dilatih untuk mengapresiasi hukum sampel besar
dengan memikirkan tentang konsep tersebut dan melihat beberapa sampel khusus
terjadinya kesalahan sampel kecil.
Sebagai rangkuman, heuristik
keterwakilan merupakan heuristik yang kuat. Penggunaan heuristik ini
memungkinkan untuk mengabaikan karakteristik lain dari suatu sampel yang
mungkin penting, seperti ukuran sampel. Bagaimanapun, orang sering memberikan
perhatian yang semestinya pada hukum sampel besar ketika mempunyai pengalaman
dalam masalah tertentu dan ketika menerima pelatihan secara formal.
Angka dasar (Base
Rate) dan Keterwakilan (Representativeness)
Keterwakilan
merupakan suatu heuristik yang mendorong atau memaksa orang untuk mengabaikan angka
dasar (base rate) atau seberapa sering suatu hal terjadi di populasi. Pastikan Anda
telah mencoba Demonstrasi 4 sebelum melanjutkan pembahasan berikutnya. Dengan
menggunakan masalah dalam demonstrasi tersebut, Kahnemann dan Tversky (1973)
memperlihatkan bahwa orang bergantung pada keterwakilan ketika mereka diminta
untuk menerka kategori keanggotaan. Mereka memfokuskan hampir secara eksklusif
pada apakah suatu deskripsi mewakili masing-masing anggota pada tiap kategori.
Dengan menekankan pada keterwakilan, mereka melakukan kekeliruan angka dasar
dan tidak menekankan pada informasi penting mengenai angka dasar (Dawes, 1998).
Pada
suatu penelitian, partisipan ditunjukkan sebuah sketsa kepribadian dari orang
rekaan yang bernama Steve. Steve digambarkan sebagai berikut.
Steve adalah orang yang sangat pemalu dan suka menyendiri,
tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Ia suka menolong, tetapi kurang peduli
terhadap orang lain atau terhadap realitas hidup. Ia memiliki jiwa yang lembut
dan teratur. Ia peduli terhadap keteraturan, keterstrukturan. Ia juga peduli
terhadap kedetailan. (Kahnemann dan Tversky, 1974)
Setelah membaca uraian di atas, orang diminta untuk menebak pekerjaan
Steve. Mereka diberikan suatu daftar pekerjaan yang mungkin, seperti petani,
sales, pilot, pustakawan, ahli fisika, dan sebagainya. Jika orang memberikan
perhatian terhadap angka dasar, mereka pasti memilih profesi yang memilki angka
dasar tinggi dalam populasi, yaitu sales. Bagaimanapun juga, sebagian besar
orang menggunakan heuristik keterwakilan dan mereka cenderung menduga bahwa
Steve adalah seorang pustakawan. Deskripsi Steve mempunyai kesamaan yang tinggi
(keterwakilan) dengan ciri-ciri pustakawan.
Anda mungkin berpendapat
bahwa eksperimen mengenai Steve tersebut tidak adil. Kahnemann dan Tversky
tidak membuat angka dasar dari berbagai variasi profesi yang menonjol dalam masalah
ini. Orang mungkin tidak memperhatikan fakta bahwa orang yang berprofesi sales
lebih umum atau lebih banyak daripada pustakawan. Angka dasar disajikan dengan sangat
jelas pada Demonstrasi 4; Anda mengatakan bahwa rata-ratar dasarnya adalah 30
insinyur dan 70 pengacara dalam populasi tersebut. Apakah kamu menggunakan angka
dasar ini untuk menduga bahwa profesi Jack adalah pengacara? Dalam suatu
penelitian menggunakan aturan seperti ini, kebanyakan orang mengabaikan
informasi mengenai angka dasar dan mengambil simpulan berdasarkan aturan keterwakilan
(Kaneman & Tverky, 1973). Faktanya, deksripsi Jack sangat mewakili
stereotip seorang insinyur, sehingga orang cenderung untuk menduga dengan persentase
yang besar terhadap pertanyaan yang diberikan.
Kahneman & Tversky
(1973) mengemukakan bagaimana penelitian mereka berkaitan dengan Teorama Bayes.
Teorema Bayes menyatakan bahwa pengambilan keputusan hendaknya dipengaruhi oleh
dua faktor, yaitu angka dasar dan rasio likelihood (rasio kebermungkinan). Rasio
likelihood menilai apakah deskripsi yang diberikan lebih sesuai untuk
menerapkan ke populasi A atau populasi B. Misalnya, deskripsi pada Demostrasi 4
lebih mungkin mengarah atau merepresentasikan seorang insinyur daripada
pengacara. Kita tampaknya mendasarkan keputusan kita pada rasio likelihood,
sehingga kita menjawab insinyur. Sementara itu, kita mengabaikan informasi berguna
yang memuat tentang angka dasar. Karena orang sering mengabaikan angka dasar, maka
mereka tidak mematuhi Teorema Bayes, sehingga mereka dapat membuat keputusan
yang tidak bijaksana.
Kita perlu mencatat bahwa orang menggunakan
cara bervariasi untuk menyelesaikan masalah. Lebih lanjut, beberapa masalah dan
beberapa alternatif susunan kalimat masalah, akan menghasilkan keputusan yang
lebih akurat (Gigerenzer, 1998a; Gigerenzer & Hoffrage, 1995; Kunda, 1999).
Pelatihan juga mendorong mahasiswa untuk menggunakan informasi angka dasar
secara tepat (Gebotys & Claxton-Oldfidd, 1989; Hammond, 1996; Kruschke,
1996).
Sayangnya, para pengambil
keputusan sering gagal untuk mengevaluasi kredibilitas sumber informasi
(Carlson, 1995). Misalnya, Hinz & Tindale (1992) menemukan bahwa mahasiswa
tidak berhati-hati dalam memeriksa kebenaran sumber informasi untuk rasio likelihood.
Mereka lebih mempercayai informasi yang berasal dari sumber manusia (seperti
laporan pandangan mata) daripada infomasi dari sumber yang bersifat teknis
(seperti dari laboratorium). Sebagaimana Anda ketahui dari Bab 4, laporan
pandangan mata sering tidak akurat.
Anda juga perlu memperhatikan contoh-contoh
dalam kehidupan sehari-hari lainnya terhadap kesalahan angka dasar. Misalnya,
suatu penelitian mengenai pejalan kaki yang menyeberang pada persimpangan
menunjukkan bahwa 10% mati ketika menyeberang ketika sinyal menunjukkan”jalan”.
Sebaliknya, hanya 6% yang mati sinyal menunjukkan ”berhenti” (Poulton, 1994). Apakah
ini berarti, demi keamanan Anda sendiri, Anda akan menyeberang ketika sinyal
menunjukkan ”berhenti”? Saya harap Anda menyadari angka dasar, bahwa banyak
orang yang menyeberang jalan ketika sinyal menunjukkan ”jalan”.
Kesalahan Konjungsi
dan Keterwakilan
Sebelum melanjutkan pembahasan, pastikan bahwa Anda telah
mencoba Demonstrasi 12.5. Selanjutnya perhatikan jawaban
Anda. Apakah menurut Anda, Linda lebih menyerupai seorang pegawai bank atau
pegawai bank sekaligus aktivis feminisme? Masalah Linda merupakan masalah yang
oleh Kahneman dan Tversky diberikan kepada mahasiswa untuk menyelediki adanya
kesalahan hubungan.
Tversky dan Kahneman
menghadirkan masalah “Linda” dan masalah
serupa lainnya kepada tiga kelompok
orang. Pertama adalah mahasiswa S1 yang belum menguasai statistika (statistically
naif). Kelompok kedua adalah mahasiswa pascasarjana tahun pertama yang
telah satu atau dua kali mengambil mata kuliah statistika. Kelompok kedua ini mempunyai
pengetahuan tingkat menengah (intermediate knowledge) mengenai prinsip
probabilitas. Kelompok ketiga adalah
mahasiswa doktoral bidang bisnis yang telah
mengambil kursus lanjutan pada probabilitas dan statistik. Kelompok ketiga ini disebut kelompok canggih (statistically
sophisticated). Pada setiap kasus, partisipan diminta untuk mengurutkan atau
meranking semua pernyataan menurut probabilitasnya.
Gambar 1 menunjukkan rata-rata ranking dari tiga kelompok untuk
dua pernyataan kritis: (1) ”Lida adalah pegawai bank”, dan (2) ”Linda adalah
pegawai bank dan aktivis gerakan feminisme”. Perhatikan bahwa orang pada semua
kelompok berpikir bahwa pernyataan kedua lebih disukai daripada pernyataan
pertama.
Cobalah
untuk berpikir sebentar, mengapa konklusi ini secara statistik tidak mungkin.
Hukum konjungsi menyatakan bahwa probabilitas dua kejadian tidak lebih besar
dari probabilitas dari kejadian-kejadian dasarnya. Dalam masalah Linda,
konjungsi dua kejadian, yaitu pegawai bank dan aktivisfeminisme, tidak dapat
terjadi lebih sering daripada masing-masing kejadian tunggalnya, misalnya
pegawai bank. Contoh lain kesalahan konjungsi, misalnya banyaknya pskilog yang
lahir di IOWA tidak lebih banyak daripada banyaknya psikolog yang lahir di
Amerika Serikat.
Gambar 1. Pengaruh Tipe
Pernyataan dan Level Penguasaan Statistika
Menurut Ranking
Likelihood.
Kahneman & Tversky (1983) menemukan bahwa sebagian
besar orang melakukan kesalahan konjungsi. Mereka menyimpulkan bahwa probabilitas
suatu konjungsi lebih besar daripada probabilitas kejadian-kejadian dasarnya. Kahneman
& Tversky menelusuri kesalahan ini menurut heuristik keterwakilan. Mereka
berpendapat bahwa orang menyimpulkan bahwa konjungsi “pegawai bank dan feminis”
mempunyai probabilitas lebih besar daripada probabilitas kejadian dasarnya,
misalnya “pegawai bank”, sebab “feminis” merupakan karakteristik yang sangat representatif
(yang mirip) dengan seseorang yang masih lajang, blak-blakan, cerdas, menguasai
filsafat, perhatian terhadap keadilan sosial, dan aktivis antinuklir. Seseorang
yang mempunyai karakteristik ini tidak tampak menyerupai seorang pegawai bank.
Bagaimanapun juga, Linda, lebih mirip seorang feminis daripada seorang pegawai
bank.
Para
psikologi tertarik dengan kesalahan konjungsi ini karena memperlihatkan bahwa
orang menolak satu
prinsip yang paling mendasar dalam
teori probabilitas. Hasil penelitian mengenai
kesalahan konjungsi telah direplikasi untuk banyak kasus dan hasilnya secara
umum konsisten dengan hasil terdahulu.
Beberapa orang
yang bersikap skeptis ingin mengetahui apakah kesalahan hubungan dapat ditelusuri
menjadi kesalahan verbal sederhana. Misalnya, mungkin orang menginterpretasikan
pernyataan, “Linda adalah pegawai bank” ke pengertian bahwa Linda adalah
pegawai bank yang tidak aktif dalam gerakan feminisme. Bagaimanapun juga, kita
tidak mempunyai bukti untuk penjelasan ini (Agnoli & Krantz, 1989; Dawes,
1998). Peneliti lain berpendapat bahwa orang sering akurat jika masalah
dideskripsikan dalam istilah bilangan aktual daripada dalam masalah
probabilitas (Gigerenzer, 1998). Namun demikian, kesalahan konjungsi masih juga
tampak pada masalah seperti ini (Richadson, 1998).
Sebelum
mendiskusikan heuristik kedua dalam pengambilan keputusan, terlebih dahulu
perlu ditinjau ulang pengertian heuristik keterwakilan. Kita menggunakan
heuristik keterwakilan ketika mengambil keputusan yang didasarkan pada apakah
sampel memiliki karakteristik penting yang dimiliki populasi dari mana sampel
tersebut dipilih. Heuristik keterwakilan memaksa kita untuk cenderung
mengabaikan karakteristik lain yang penting, misalnya ukuran sampel dan angka
dasar. Kita gagal untuk menjelaskan bahwa probabilitas dua kejadian yang
terjadi secara bersamaan (misalnya pegawai bank dan feminis) lebih kecil
daripada probabilitas kejadian masing-masing kejadian dasarnya (misalnya
pegawai bank). Sebagai rangkuman, heuristik keterwakilan pada dasarnya sangat
membantu kita dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
kadang-kadang kita menggunakannya secara tidak tepat.
- Heuristik Ketersediaan (Availability Heuristic)
Heuristik penting kedua yang sering
digunakan orang dalam membuat keputusan adalah heuristik ketersediaan (availability
heuristic). Heuristik ketersediaan digunakan ketika kita mengestimasi
frekuensi atau probabilitas terkait dengan seberapa mudah kita memperoleh
contoh sesuatu (Dawes, 1998; Tversky & Kahneman, 1973). Dengan kata lain,
orang menentukan frekuensi dengan menilai apakah contoh yang relevan dapat
dengan mudah diperoleh atau diingat dari memori atau apakah pengingatan ini
memerlukan usaha yang besar.
Heuristik ketersediaan secara umum
sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorarang bertanya kepada
Anda apakah di universitas Anda, banyaknya mahasiswa yang berasal dari Jawa
lebih banyak daripada mahasiswa dari luar Jawa. Anda mungkin tidak mengingat
statistik geografis, sehingga Anda akan lebih suka untuk menjawab berdasarkan
ketersediaan contoh mahasiswa dari Jawa dan luar Jawa. Mungkin Anda lebih banyak mengingat teman-teman
dari Jawa, dan Anda hanya mampu mengingat nama-nama teman dari Jawa, misalnya Ali
atau Joko. Karena contoh mahasiswa dari Jawa relatif lebih mudah diingat, maka
Anda menyimpulkan bahwa di universitas Anda, mahasiswa dari Jawa lebih banyak
daripada mahasiswa yang berasal dari luar Jawa. Secara umum, heuristik ketersediaan
merupakan metode yang relatif efektif untuk membuat keputusan mengenai
frekuensi. Namun heuristik ketersediaan juga dapat membuat kita melakukan
kesalahan.
Heuristik
ketersediaan merupakan strategi yang akurat selama ketersediaan dikaitkan
dengan frekuensi objektif yang sesungguhnya. Namun demikian, heuristik
ketersediaan dapat mengarahkan Anda pada kesalahan. Terdapat beberapa faktor yang
dapat membuat bias ingatan memori karena tidak dikaitkan dengan frekuensi
obyektif yang sesungguhnya (Kunda, 1999). Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi
ketersediaan dan oleh karenanya akan mengurangi keakuratan keputusan kita. Kita
akan melihat bahwa faktor resensi dan familiaritas secara potensial dapat mengurangi
ketersediaan. Gambar 11.2 mengilustrasikan bagaimana dua faktor ini dapat
mempengaruhi atau mengganggu hubungan antara frekuensi dan ketersediaan.
Kita telah
menyebutkan pada awal bab bahwa penalaran deduktif dan pengambilan keputusan
saling terkait. Heuristik ketersediaan dikaitkan dengan bias kepercayaan dalam
penalaran, yaitu orang mendasarkan simpulan mereka pada kepercayaan yang mereka
miliki yang muncul dengan segera dalam pikiran, sehingga hasilnya,
kadang-kadang orang memberikan jawaban yang tidak benar.
Gambar 2. Hubungan antara
Frekuensi Sesungguhnya dan Frekuensi yang diestimasi dengan Resensi dan Familiaritas
sebagai faktor pengganggu.
Pastikan
bahwa Anda memahami mengapa heuristik ketersediaan berbeda dengan heuristik keterwakilan.
Ketika kita menggunakan heuristik keterwakilan, kita diberikan contoh-contoh
spesifik (misalnya AGGAGA atau Linda seorang pegawai bank). Kita selanjutnya
membuat keputusan mengenai apakah contoh-contoh spesifik mirip atau serupa
dengan kategori umum yang ditampilkan (seperti pelambungan koin atau filsafat
yang memfokuskan pada keadilan sosial). Sebaliknya, ketika kita menggunakan
heuristik keterwakilan, kita diberikan kategori umum dan kita harus megingat
contoh-contoh spesifik (seperti mahasiswa yang berasal dari Jawa). Selanjutnya
kita membuat keputusan yang didasarkan pada penilaian apakah contoh-contoh
spesifik dapat muncul dengan segera di pikiran. Jadi, terdapat cara untuk
mengingat dua heuristik tersebut, yaitu:
- Jika suatu masalah didasarkan pada penilaian mengenai keserupaan, kita sedang berurusan atau berkaitan dengan heuristik keterwakilan.
- Jika suatu masalah mengharuskan kita untuk mengingat suatu contoh-contoh, maka kita sedag berurusan dengan heuristik ketersediaan.
Kita akan mulai mengeksplorasi heuristik ketersediaan
dan membahas dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu resensi dan familiaritas
(recency dan familiarity). Kita juga akan mengeksplorasi mengenai korelasi yang
menyesatkan (illusory correlation) terkait dengan heuristic
ketersediaan. Akhirnya, kita akan melihat bagaimana heuristic ketersediaan
bekerja ketika orang mencoba untuk membayangkan suatu kejadian di masa yang
akan datang.
Resensi dan Ketersediaan (Recency and Availability)
Sebagaimana Anda ketahui dari Bab 3, 4, dan 5 bahwa
ingatan atau memori terhadap sesuatu akan berkurang seiring berlalunya waktu. Kita
akan mengingat sesuatu yang baru dengan lebih akurat. Dengan demikian, banyak
sesuatu yang baru akan lebih tersedia dan mudah muncul di pikiran.
Sebuah artikel di New England Journal of Medicine
membahas bagaimana keputusan dokter dapat dipengaruhi oleh efek resensi.
Artikel ini mendeskripsikan seorang dokter yang enggan untuk merekomendasikan
prosedur medis khusus sebab kelainan syaraf serius telah terjadi atau
berkembang dalam diri pasiennya yang menjalani prosedur ini. Sebagaimana yang
dituliskan oleh penulis artikel ini “Mengingat pasien yang menderita komplikasi
adalah suatu contoh dari heuristik ketersediaan” (Pauker & Kopelman, 1992).
Para peneliti dalam bidang pengambilan keputusan hendaknya bergembira karena
temuan mereka telah didiskusikan dalam jurnal prestisius. Informasi yang
demikian dapat membantu dokter menjadi pengambil keputusan yang tidak bias.
Penelitian menunjukkan pentingnya heuristik ketersediaan dalam pengambilan
keputusan medis. Dokter menjadi lebih menyukai untuk memilih diagnosis khusus
jika mereka baru saja mendiagnosis kasus serupa (Weber dkk, 1993).
Heuristik ketersediaan dapat juga
diterapkan dalam bidang psikologi klinis. Mackeod dan Campbell (1992) menemukan
bahwa ketika orang didorong untuk mengingat kejadian yang menyenangkan yang
pernah dialaminya, maka mereka akan lebih memilih kejadian menyenangkan dalam
kehidupan selanjutnya. Sebaliknya jika orang didorong untuk mengingat kejadian
yang tidak menyenangkan yang pernah mereka alami, maka mereka lebih memilih
kejadian yang tidak menyenangkan pada kehidupan selanjutnya. Para ahli
psikoterapi mungkin dapat mendorong pasien yang depresi untuk membayangkan masa
depan yang penuh harapan dengan mengingat dan memfokuskan pada kejadian-kejadian
menyenangkan yang pernah mereka alami. Singkatnya, heuristik ketersediaan dapat
diterapkan dalam banyak hal.
Familiaritas/Keakraban dan
Ketersediaan (Familiarity &
Availability)
Familiaritas atau keakraban terhadap
contoh-contoh, sebagaimana terkait hal-hal yang baru, juga dapat menghasilkan
distorsi dalam estimasi frekuensi. Misalnya, orang yang mengenal banyak
individu yang bercerai sering memberikan estimasi tinggi mengenai angka
perceraian nasional daripada orang yang jarang menemui kasus perceraian
(Kozielecki, 1981).
Familiaritas juga mengganggu atau mengkontaminasi
keputusan medis. Misalnya, penasehat genetis sering memberikan estimasi yang
terlalu tinggi terhadap risiko genetik, berdasarkan pengalamannya dengan orang
yang berkonsultasi mengenai cacat kelahiran (Shiloh, 1994). Juga, para dokter
sering mendistorsi ide-ide mengenai bahaya berbagai macam penyakit yang sering
didiskusikan dalam jurnal medis. Khususnya, banyaknya artikel jurnal mengenai
penyakit berkorelasi tinggi dengan estimasi dokter mengenai apakah penyakit itu
fatal atau tidak (Christenzen-Szalanski dkk, 1983). Korelasi ini tampaknya
benar, tanpa memperhatikan apakah artikel itu benar-benar membahas mengenai
penyakit. Jika jurnal mengarahkan dokter untuk percaya bahwa suatu penyakit
lebih berbahaya daripada kenyataannya, maka ia mungkin memesan untuk melakukan sejumlah
tes yang sesunguhnya tidak perlu (Schwartz & Griffin, 1986).
Media juga sering mempengaruhi estimasi kita
mengenai populasi suatu negara. Brown dan Siegler (1992) menemukan bahwa
mahasiswa mengestimasi populasi El-Savador adalah 12 juta. Padalah populasi
sesungguhnya hanya 5 juta. Sebaliknya, estimasi mereka terhadap populasi
Indonesia adalah 19,5 juta jiwa. Padahal populasi sesungguhnya (saat itu) adalah
180 juta. Pada saat dilakukan penelitian tersebut, El-Savador sering
diberitakan di media, sebab Amerika Serikat melakukan intervensi di Negara itu,
sehingga mereka mengestimasi terlalu tinggi dibandingkan kondisi sesungguhnya.
Sebaliknya, mahasiswa saat itu jarang membaca berita mengenai Indonesia,
sehingga mereka mengestimasi yang terlalu rendah mengenai populasi Indonesia. Coba Tanya teman Anda untuk mengestimasi
populasi Israel (populasinya 5.143.000) dan populasi Paraguay (Populasi 5.358.000).
Apakah teman Anda juga melakukan estimasi yang terlalu rendah atau terlalu
tinggi disebabkan oleh pengaruh media?
Cobalah Demonstrasi 6 yang merupakan modifikasi
dari penelitian Kahneman dan Tversky (1973). Perhatikan apakah teman Anda
merespon sesuai dengan efek familiaritas contoh-contoh atau frekuensi yang
sebenarnya. Tversky dan Kahneman memperdengarkan kepada partisipan sebanyak 39
nama orang. Daftar itu memuat 19 nama wanita terkenal dan 20 nama pria yang
kurang dikenal. Setelah mendengar daftar itu, partisipan diminta untuk
menentukan apakah daftar itu memuat nama pria lebih banyak daripada wanita.
Sekitar 80% partisipan menebak bahwa daftar itu memuat nama wanita yang lebih
banyak daripada nama-nama prisa. Nama-nama yang relatif familiar atau dikenal
tampak lebih mudah diingat oleh partisipan, sehingga mereka mengestmasi
banyaknya nama wanita lebih banyak. Padahal sesungguhnya dalam daftar itu
banyaknya nama wanita kurang dari banyaknya nama pria. Hasil serupa diperoleh
dalam penelitian lain yang serupa (Manis dkk, 1993; McKalvie, 1997).
Korelasi Semu dan Ketersediaan (Illusory Correlation and Availability)
Sejauh ini kita telah melihat bahwa heuristic ketersediaan yang
terkait dengan kemudahan suatu contoh dapat diingat dengan mudah, merupakan
heuristik yang bermanfaat. Namun demikian, heuristik ini dapat “diganggu” atau
dipengaruhi oleh faktor resensi dan frekuensi yang dapat mengarahkan pada
keputusan yang tidak tepat mengenai frekuensi suatu kejadian. Sekarang kita
akan membahas topik ketiga dan kita akan melihat bagaimana heuristik
ketersediaan dapat menyumbang pada terjadinya kesalahan kognitif yang disebut
korelasi semu atau yang menyesatkan (illusory correlation).
Sebagaimana Anda ketahui, suatu korelasi terkait dengan keterhubungan
statistik antara dua variabel, sementara semu berarti sesuatu yang tidak nyata
atau seakan-akan ada. Oleh karena itu, korelasi semu terjadi ketika orang
mempercayai bahwa dua variabel berhubungan secara statistik, meskipun tidak ada
kejadian nyata terkait hubungan ini. Menurut sejumlah penelitian, kita sering
mempercayai bahwa suatu kelompok orang cenderung mempunyai karakteristik
tertentu, meskipun tabulasi yang akurat akan menunjukkan bahwa keterhubungan
itu tidak signifikan secara statistik (Hamilton dkk, 1993; Kunda, 1999; Trolier
& Hamilton, 1986).
Pikirkan beberapa contoh-contoh stereotip yang diakibatkan oleh korelasi
semu. Korelasi semu ini mungkin tidak mempunyai dasar dalam kenyataannya atau
kurang berdasar daripada yang secara umum dipercayai. Misalnya, stereotip bahwa
wanita tidak pandai matematika, seorang yang berambut pirang tidak pandai,
laki-laki gay dan lesbian mempunyai masalah psikologi, dan sebagainya. Sesuai
dengan pendekatan tertentu, stereotip kita dimediasi oleh proses kognitif
seperti ketersediaan (availability) (Hamilton dkk, 1993).
Investigasi awal mengenai korelasi semu dilakukan oleh Chapman dan
Chapman (1967, 1969) yang mendekati masalah ini dari pandangan psikologi
klinis. Peneliti ini merancang suatu tes proyektif yang disebut dengan tes
menggambar orang (draw-a-person test). Tes ini mengasumsikan bahwa orang
akan memproyeksikan emosi dan motivasinya ke dalam gambar yang mereka buat. Misalnya,
seorang paranoid atau orang yang berpembawaan selalu curiga (suspicious) dipercayai
akan menggambar orang yang mata besar, sementara orang yang sangat bergantung
kepada orang lain atau tidak mandiri (dependent individual) diyakini akan
menggambar orang yang mulut besar (sebab mereka agaknya suka diperhatikan atau
diberi makan). Chapman dan Chapman menyatakan bahwa kepercayaan para ahli
psikologi klinis dalam tes ini didasarkan pada adanya korelasi semu.
Chapman dan Chapman (1967) meminta pasien psikiatri di rumah sakit
negeri untuk melakukan tes menggambar orang. Gambar-gambar ini dipasangkan
secara acak dengan 6 gejala-gejala, seperti kecurigaan (suspicious) dan
ketergantungan (dependent). Selanjutnya, mahasiswa mengamati atau menilai
gambar ini dan melabelinya dengan gejala-gejala yang ditunjukkan oleh pasien
yang membuat gambar itu. Ternyata mahasiswa melaporkan hal yang sama dengan
keyakinan para ahli psikologi klinis. Misalnya, mereka melaporkan bahwa orang
yang paranoid sering menggambar mata besar, sementara orang yang mempunyai
ketergantungan tinggi atau tidak mandiri menggambar mulut besar. Chapman dan
Chapman (1969) juga memperluas temuannya terkait dengan homoseksual pada tes
Rosschach.
Para ahli
memberikan penjelasan alternatif mengenai korelasi semu, yang melibatkan
perhatian terdistribusi yang tidak sesuai dan karakteristik dari jejak memori
(Kunda, 1999; Smith, 1991). Kita akan mengeksplorasi secara detail bagaimana
heuristik keterwakilan dapat digunakan untuk menjelaskan korelasi semu.
Ketika kita mencoba untuk menentukan apakah dua variabel berhubungan
atau tidak, hendaknya kita memperhatikan empat jenis informasi. Misalnya, kita
akan menentukan apakah wanita lesbian atau lelaki gay mempunyai masalah
psikologis. Beberapa orang tampaknya mempercayai korelasi semu ini, meskipun
penelitian menunjukkan tidak adanya keterhubungan antara orientasi seksual dan
masalah psikologis (Gonsiorek, 1996; Kurdek, 1987; Tasker & Golombok,
1995). Untuk hal ini, kita perlu memperhatikan frekuensi dari empat
kemungkinan: (1) lelaki gay yang mempunyai masalah psikologis, (2) lelaki gay
yang tidak mempunyai masalah psikologi, (3) lelaki normal yang mempunyai
masalah psikologi, dan (4) lelaki normal yang tidak mempunyai masalah
psikologi. Bayangkan, misalnya, peneliti memperoleh data dalam tabel 2 berikut.
Keputusan mereka hendaknya didasarkan pada dua rasio perbandingan berikut.
vs
Dengan menggunakan data pada Tabel 2, misalnya, kita akan menemukan
bahwa 6 dari 60 lelaki gay (atau 10%) mempunyai masalah psikologis, dan 8 dari
80 lelaki normal (juga 10%) mempunyai masalah psikologis. Oleh karena itu hendaknya
kita menyimpulkan bahwa orientasi seksual tidak berhubungan dengan masalah
psikologis.
Sayangnya,
sering orang hanya memperhatikan salah satu sel pada matriks (Hamilton dkk,
1993; Kunda, 1999). Pada contoh ini, tampaknya banyak orang lebih menyukai
untuk memperhatikan kelompok lelaki gay yang mempunyai masalah psikologis, dan
mengabaikan iformasi penting pada tiga sel lainnya. Orang secara bias menyerang
lelaki gay khususnya dengan memperhatikan sel ini dan mereka mencari informasi yang
menegaskan hipotesis mereka bahwa lelaki gay mempunyai masalah psikologis. Anda
akan mengingat kembali dari pembahasan penalaran kondisional bahwa orang akan
lebih memilih untuk menegaskan hipotesis daripada mencoba menyangkalnya.
Tabel 12.2. Matriks yang menunjukkan informasi hipotetis mengenai orientasi seksual dan masalah psikologis
|
Banyaknya setiap kategori
|
|
Lelaki gay
|
Lelaki normal
|
|
Orang dengan masalah psikologis
|
6
|
8
|
Orang tanpa masalah psikologis
|
54
|
72
|
Total
|
60
|
80
|
Cobalah untuk menerapkan informasi mengenai
korelasi semu pada beberapa stereotip yang Anda ketahui. Perhatikan bahwa Anda
cenderung untuk fokus hanya pada satu sel dalam matriks dan mengabaikan tiga
sel lainnya. Apakah Anda secara khusus mencoba untuk tidak menegaskan stereotip
itu? Perhatikan juga bagaimana politikus sering mendasarkan argumen mereka pada
korelasi semu. Misalnya, mereka mungkin hanya fokus pada angka yang menunjukkan
banyaknya penerima dana kesejahteraan yang berbuat curang. Angka ini tidak
bermakna kecuali jika kita juga mengetahui banyaknya penerima kesejahteraan yang
tidak berbuat curang atau memperhatikan juga banyaknya orang yang tidak
menerima dana kesejahteraan dan melakukan jenis kecurangan lainnya.
Heuristik Simulasi dan Ketersediaan (The Simulation Heuristic and Availability)
Sejauh ini, kita telah mendiskusikan keputusan yang
dapat Anda buat dengan memikirkan contoh dan menentukan frekuensi relatif dari contohcontoh
tersebut. Jawaban yang benar dari keputusan ini dapat diperoleh dengan
menghitung daftar contoh-contoh yang yang tidak bias. Misalnya, Anda dapat menjawab
pertanyaan mengenai banyaknya nama laki-laki dan perempuan yang tertulis dalam Demonstrasi
12.6,
dengan benar-benar menghitung banyaknya nama laki-laki dan perempuan dari
daftar tersebut.
Dalam kehidupan nyata, seringkali kita tidak dapat menentukan
peluang secara sederhana menghitung dari daftar contoh. Misalnya, berapa
peluang Bill dan Jane akan bercerai? Berapa peluang bahwa Anda akan menjadi
ahli psikologi klinis? Perkawinan dan karir adalah unik, sehingga kita tidak
dapat menjawab pertanyaan itu dengan menghitung contoh-contoh dari perkawinan
atau karir lainnya.
Kahneman dan Tversky (1982) menyatakan bahwa heuristik simulasi
merupakan contoh khusus dari heuristik ketersediaan. Heuristik ketersediaan
merujuk pada kemudahan kita memberikan contoh, sementara heuristik simulasi
merujuk pada kemudahan kita dapat membayangkan contoh-contoh atau skenario
(Poulton, 1994).
Misalnya,
andaikan Anda ingin menentukan peluang Anda menjadi ahli psikologi klinis. Anda
mungkin mengkonstruksi suatu skenario sebagai berikut. Anda memperoleh
nilai-nilai yang baik dalam mata kuliah, mempunyai IPK yang bagus, memperoleh
rekomendasi yang bagus dari professor Anda, diterima di sekolah pascasarjana
sesuai pilihan Anda, memperoleh gelar doktor dengan baik, dapat melengkapi
keahlian Anda, dan sebagainya. Jika Anda mempunyai kesulitan untuk membayangkan
setiap kejadian atau peristiwa dalam skenario ini, maka Anda mungkin akan
menilai bahwa peluang Anda menjadi ahli psikologi klinis adalah kecil. Sebaliknya,
mengkonstruksi suatu skenario untuk menjadi presiden Amerika Serikat atau Perdana
Menteri Kanada mungkin lebih sulit Anda lakukan, sehingga Anda akan menilai
bahwa peluang Anda untuk menjadi presiden adalah kecil.
Heuristik
simulasi juga menjelaskan mengapa kita merasa frustasi ketika kita baru saja
gagal mencapai tujuan. Kahneman dan Tversky (1982) meminta mahasiswa untuk menilai
manakah yang lebih sedih orang yang terlambat 5 menit atau 30 menit dari
keberangkatan pesawat. Anda tidak akan terkejut bahwa ternyata sebanyak 96% mahasiswa
menjawab bahwa orang akan lebih sedih ketika terlambat 5 menit dibandingkan 30
menit dari keberangkatan pesawat. Kahneman dan Tversky menyatakan bahwa orang
yang terlambat 5 menit akan membayangkan atau membuat skenario andaikan ia
tidak membeli koran sebelum ke bandara maka ia tentu tidak akan terlambat
pesawat.
Kita akan
melakukan review apa yang telah didiskusikan mengenai heuristik ketersediaan yang
terkait dengan estimasi frekuensi atau peluang dalam pengertian bagaimana kita
dapat memikirkan contoh-contoh sesuatu dengan mudah. Heuristik ini secara umum
akurat dalam kehidupan nyata kita, dan orang mampu mengestimasi frekuensi
relatif dengan keakuratan yang mengesankan (Sedlmeier dkk, 1998). Namun
demikian, heuristik ketersediaan dapat dipengaruhi oleh dua faktor yang tidak
berkaitan dengan frekuensi objektif, yaitu resensi dan familiaritas.
Pada pembahasan
ini, kita juga melihat bahwa heuristik ketersediaan membantu munculnya korelasi
semu, suatu jenis kesalahan yang lain dalam pengambilan keputusan. Kita juga
membahas mengenai heuristik simulasi yang terkait dengan kemudahan kita dalam membuat
skenario suatu kejadian.
- Heuristik Pembuatan Acuan dan Penyesuaian (The Anchoring and Adjustment Heuristic)
Misalkan Anda sedang berbelanja di toko untuk membeli sebuah jas. Anda
mendeskripsikan kepada penjual di toko itu mengenai jenis jas yang sedang Anda
cari. Selanjutnya pramuniaga toko itu menunjukkan kepada Anda sebuah jas yang berkualitas
tinggi dan sangat mahal. Kemudian Anda meminta kepada pramuniaga untuk menunjukkan
jenis jas lainnya. Akhirnya Anda keluar dari toko itu dengan membawa jas yang
tidak begitu mahal dibandingkan dengan yang ditunjukkan pertama kali, tetapi
lebih mahal dibandingkan yang ia inginkan semula. Pramuniaga yang pandai itu mungkin
telah mendorong Anda untuk jatuh pada heuristik pembuatan acuan dan penyesauaian (Poulton, 1994).
Berdasarkan heuristik pembuatan acuan dan penyesuaian, kita mulai dengan
aproksimasi pertama, yang kita ibaratkan sebagai jangkar, dan selanjutnya kita
membuat penyesuaian berdasarkan informasi lain (Poulton, 1994; Slovic dkk,
1974; Tversky & Kahneman, 1982). Heuristik ini sering mengarah pada jawaban
yang benar. Kadang orang terlalu menyandarkan pada “jangkar” yang tinggi atau berat
dan penyesuaian mereka terlalu kecil. Catat bahwa heuristik Pembuatan acuan dan
penyesuaian sering bergantung pada heuristik ketersediaan, sebab terkait dengan
kemudahan informasi dapat diperoleh dengan mudah.
Heuristik Pembuatan acuan dan penyesuaian mengilustrasikan sekali lagi
bahwa kita cenderung untuk mendukung hipotesis atau kepercayaan kita (Baron,
1994). Kita telah melihat beberapa contoh dari kecenderungan ini yaitu:
1. Bias kepercayaan:
Kita terlalu menyandarkan pada kepercayaan kita yang sudah mapan.
2. Bias konfirmasi: Kita
lebih memilih untuk mendukung hipotesis kita daripada menolaknya.
3. Korelasi semu: Kita
terlalu mempercayakan pada salah satu sel dalam suatu matriks data dan tidak
memperhatikan informasi lainnya mengenai tiga sel lainnya.
Penelitian Terkait Heuristik
Pembuatan Acuan dan Penyesuaian
Dalam studi klasik, Tversky dan Kahneman
(1974) meminta orang untuk mengestimasi kuantitas yang bervariasi. Misalnya, mereka
meminta partisipan untuk mengestimasi persentase banyaknya delegasi PBB yang
berasal dari negara-negara Afrika. Sebelum partisipan menjawab pertanyaan
tersebut, peneliti memutar rolet (roda berangka 1–100) sampai munculnya angka
tertentu. Partisipan diminta untuk mengestimasi apakah jawaban mereka terhadap
pertanyaan terkait delegasi tersebut lebih tinggi atau lebih rendah daripada
angka yang muncul dalam rolet tersebut.
Tversky dan Kahneman (1974) menemukan bahwa angka
yang muncul secara acak pada rolet setelah diputar dijadikan sebagai jangkar
dalam mengestimasi banyaknya delegasi tersebut. Misalnya, jika rolet berhenti
pada angka 10, maka partisipan akan mengestimasi bahwa banyaknya delegasi
tersebut adalah 25 orang. Jika rolet berhenti pada angka 65, maka partisipan
akan mengestimasi bahwa banyaknya delegasi tersebut adalah 45 orang. Dengan
kata lain, angka yang tidak mempunyai hubungan dengan pertanyaan itu berfungsi
sebagai jangkar untuk menjawab pertanyaan. Partisipan selanjutnya membuat
penyesuaian terhadap angka ini berdasarkan pengetahuan mereka mengenai
informasi yang berkaitan dengan pertanyaan itu.
Cobalah Demonstrasi 12.7 untuk contoh heuristik Pembuatan acuann dan penyesuaian lainnya. Dalam penelitian
klasik, siswa SMA diminta untuk mengestimasi jawaban terhadap masalah perkalian
dalam demonstrasi tersebut (Tversky dan Kahneman, 1982). Siswa hanya diberikan
waktu 5 detik untuk menjawab masalah tersebut. Jawaban siswa terhadap dua masalah tersebut sangat jauh berbeda. Median
jawaban siswa untuk masalah A adalah 2.250. Sedangkan median jawaban siswa
terhadap masalah B adalah 512. Jawaban sebenarnya untuk kedua masalah tersebut
adalah 40.320.
Mari kita perhatikan beberapa
aplikasi dari heuristik Pembuatan acuan dan penyesuaian. Selanjutnya kita akan
melihat bagaimana heuristik Pembuatan acuan dan penyesuaian mendorong kita
untuk membuat kesalahan ketika kita harus mengestimasi interval kepercayaan.
Aplikasi Heuristik Pembuatan Acuan dan Penyesuaian
Penggunaan heuristik Pembuatan acuan dan
penyesuaian tidak dibatasi pada situasi terkait estimasi suatu angka. Dalam
kehidupan nyata, heuristik ini sering digunakan ketika kita membuat penilaian
mengenai orang lain (Kunda, 1999). Misalnya, Anda mempunyai stereotip mengenai
seseorang. Ketika Anda bertemu dengan orang tersebut, Anda akan menjadikan
stereotip Anda sebagai jangkar awal. Selanjutnya, Anda memperhatikan
karakteristik unik yang mungkin tidak mencukupi untuk membuat penyesuaian
terhadap jangkar pertama yang telah Anda tentukan. Untuk menggunakan kerangka
kerja lain yang familiar, Anda menyandarkan pada proses top-down yang berat dan
tidak cukup pada proses bottom-up.
Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa
para profesional yang terlatih mampu menggunakan heuristik Pembuatan acuan dan
penyesuaian secara akurat (Smith & Kida, 1991). Tampaknya mereka kurang
dipengaruhi oleh jangkar ketika mereka memberikan estimasi dalam bidang
keahlian mereka. Sekarang cobalah terlebih dahulu Demonstrasi 12.8 sebelum membaca lebih lanjut.
Mengestimasi
Interval Kepercayaan
Kita menggunakan heuristik Pembuatan acuan
dan penyesuaian ketika kita mengestikasi suatu angka tunggal. Kita juga
menggunakan heuristik ini ketika kita mengestimasi interval kepercayaan atau
rentang yang kita mengharapkan suatu angka terdapat pada rentang itu. Misalnya,
Anda mungkin menduga dengan interval keperayaan 98% bahwa penduduk kota
tertentu adalah 2 juta sampai 7 juta. Dugaan ini bermakna bahwa peluang
populasi penduduk kota itu antara 2000 sampai 7000 adalah 98%.
Demonstrasi 12.8 menguji keakuratan
estimasi Anda untuk berbagai jenis informasi almanak. Jawaban dapat ditemukan
pada akhir bab. Lihatlah bagaimana estimasi interval kepercayaan Anda melibatkan
jawaban yang benar. Jika sebagian besar orang menjawab sejumlah besar
pertanyaan, kita akan mengharapkan bahwa interval kepercayaan mereka akan
melibatkan jawaban yang benar sekitar 98%, apabila teknik mengestimasi mereka
benar. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa orang memberikan interval
kepercayaan 98% yang sesungguhnya hanya melibatkan jawaban yang benar sekitar
60% (Fishhoff, 1982; Slovic, 1974; Tversky & Kahneman, 1974). Dengan kata lain, interval kepercayaan
yang kita estimasi terlalu sempit. Orang lebih menyukai untuk memberikan
interval kepercayaan yang sempit ini ketika mereka menerima estimasi orang lain
daripada estimasi Anda sendiri, untuk menggunakannya sebagai jangkar dalam
menghasilkan interval kepercayaan (Block & Harper, 1991).
Tversky dan Kahneman (1974) menyatakan bagaimana
heuristik Pembuatan acuan dan penyesuaian adalah relevan ketika kita membuat
estimasi interval kepercayaan. Kita pertama kali memberikan estimasi terbaik
dan menggunakannya sebagai jangkar. Selanjutnya kita membuat penyesuaian ke
atas atau ke bawah terhadap jangkar ini untuk mengkonstruksi estimasi interval
kepercayaan. Bagaimanapun juga penyesuaian kita terlalu kecil. Misalnya,
mungkin Anda menebak atau menduga bahwa persentase banyaknya penduduk AS yang
tidak menggunakan hak pilihnya adalah 25%. Anda mungkin selanjutnya mengatakan
bahwa interval kepercayaan Anda antara 15% sampai 35%. Rentang ini terlalu
sempit sehingga memberikan kemungkinan kesalahan dalam estimasi semula.
Pikirkan mengenai aplikasi heuristik Pembuatan
acuan dan penyesuaian. Andaikan Anda mencoba untuk menebak berapa banyak Anda
akan memberikan tip dalam pekerjaan liburan Anda. Kita terlebih dahulu
memberikan estimasi pertama. Bagaimanapun juga, jawaban final Anda akan
bergantung pada kuat tidaknya dugaan pertama yang mungkin ditetapkan dengan
tidak hati-hati. Penyesuaian Anda tidak akan merefleksikan secara memadai semua
faktor tambahan yang hendaknya diperhatikan setelah Anda membuat dugaan pertama
kali.
Kita akan mereview heuristik ketiga yaitu Pembuatan
acuan dan penyesuaian. Ketika kita menggunakan heuristik Pembuatan acuan dan
penyesuaian, kita mulai dengan menduga aproksimasi pertama atau jangkar.
Selanjutnya, kita membuat penyesuaian terhadap jangkar tersebut. Heuristik ini
secara umum bermanfaat, tetapi gagal membuat penyesuaian yang cukup besar.
Heuristik Pembuatan acuan dan penyesuaian dapat diterapkan dalam berbagai
bidang, seperti dalam interaksi sosial, penilaian risiko, atau dalam bidang
real estate. Heuristik Pembuatan acuan dan penyesuaian juga bermanfaat ketika
menduga interval kepercayaan.
4.
Efek Kerangka (Framing Effect)
Efek kerangka
menunjukkan bahwa hasil pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh dua
faktor: (1) konteks dasar (latar belakang) suatu pilihan, (2) cara suatu
masalah disajikan (susunan kalimat masalah). Dalam diskusi ini, kita akan memperhatikan
penelitian mengenai konteks dasar. Selanjutnya kita akan memperhatikan juga penelitian
mengenai aspek susunan kalimat suatu masalah. Akhirnya, kita akan melihat bahwa
efek kerangka mempunyai beberapa penjelasan berbeda. Sebelum Anda membaca lebih lanjut, pastikan Anda mencoba
melakukan Demonstrasi 12.9.
Informasi
Dasar (Background Information) dan
Efek Kerangka/Pembingkaian (Framing Efect)
Bacalah Demonstrasi 12.9 dan perhatikan bahwa uang sebesar Rp. 50.000 dalam kedua masalah
tersebut. Jika pengambil keputusan sepenuhnya bersikap ”rasional”, mereka akan
memberikan repson yang sama untuk kedua masalah tersebut (Shafir & Tversky,
1995; Stanovich, 1999). Namun demikian, kerangka dua situasi tersebut berbeda.
Oleh karena itu, merekapun melihatnya dengan aspek psikologis yang berbeda
pula. Kahneman dan Tversky (1984) menyatakan bahwa kita mengorganisasikan
mental untuk merepon dua kasus tersebut. Kita memandang pergi ke gedung film sebagai
transaski. Dengan biaya yang kita keluarkan, kita akan mendapat layanan atau
kenyamanan dalam menikmati film. Jika Anda membeli tiket kedua, maka biaya
untuk melihat film tersebut menjadi meningkat, sehingga sebagian orang tidak
dapat menerima hal itu. Kahneman dan Tversky meminta menanyai orang apakah yang
akan mereka lakukan dalam Masalah 1. Ternyata, hanya 46% partisipan yang
mengatakan bahwa mereka akan membeli tiket yang lain. Sebaliknya, dalam Masalah
2, orang memandang bahwa kehilangan uang Rp. 50.000 tidak berkaitan dengan
harga tiket. Dalam penelitian Kahneman dan Tversky, sebanyak 88% partisipan
mengatakan bahwa mereka tetap akan membeli tiket film tersebut, meskipun
kehilangan uang seharga tiket tersebut. Sebagaimana dapat Anda lihat bahwa
informasi dasar memberikan kerangka berbeda untuk dua masalah dan kerangka
secara kuat mempengaruhi keputusan. Sekarang, sebelum Anda membaca lebih
lanjut, cobalah untuk melakukan Demonstrasi 12.10.
Penyajian suatu Pertanyaan dan Efek Kerangka (The Wording of a Question and Framing
Effect).
Pada Bab 10, kita melihat bahwa orang sering gagal untuk menyadari
bahwa dua masalah atau pertanyaan mungkin mempunyai struktur yang sama. Dengan
kata lain, orang diganggu oleh perbedaan struktur permukaan atau tampilan. Kita akan melihat bahwa orang sering
diganggu oleh perbedaan struktur permukaan ketika membuat keputusan.
Tversky dan Kahneman (1981) memberikan tes
kepada mahasiswa di Kanada dan AS dengan menggunakan Masalah 1 pada Demonstrasi
12.10. Perhatikan bahwa kedua pilihan dalam Masalah 1
tersebut menekankan pada banyaknya jiwa yang akan diselamatkan. Mereka
menemukan bahwa 72% partisipan memilih Program A dan hanya 28% yang memilih
Program B. Perhatikan bahwa partisipan dalam penelitian ini lebih memilih untuk
“menghindari risiko”, sehingga mereka lebih menyukai untuk memastikan terdapat
200 orang yang akan selamat daripada mengambil risiko bahwa sebanyak sepertiga
dari 600 orang tersebut kemungkinan (berpeluang) akan selamat.
Perhatikan bahwa sesungguhnya keuntungan Program A dan B secara statistik
adalah identik.
Sekarang periksa jawaban Anda untuk Masalah 2 yang
menekankan pada banyaknya jiwa yang tidak akan terselamatkan (yaitu banyaknya
angka kematian). Ketika Tversky dan Kahneman (1981) mempresentasikan masalah
ini ke sekelompok mahasiswa berbeda pada universitas yang sama, hanya 22% yang
memilih Program C, tetapi sebanyak 78% memilih Program D, Dalam hal ini,
partisipan lebih memilih untuk “mengambil risiko”; mereka lebih menyukai bahwa
terdapat kemungkinan sebanyak duapertiga dari 600 orang tersebut akan meninggal
daripada kepastian bahwa terdapat 400 orang akan meninggal. Sekali lagi, dampak
Program C dan Program D dalam masalah tersebut secara statistik adalah sama.
Lebih lanjut, perhatikan bahwa Masalah 1 dan Masalah 2 mempunyai struktur dalam
yang sama atau identik. Perbedaan hanya terdapat pada permukaan. Masalah 1
menekankan pada banyaknya orang yang akan selamat, sementara Masalah 2
menekankan pada banyaknya orang yang meninggal.
Cara suatu masalah disajikan atau dikerangkakan (jiwa
selamat atau tidak selamat) mempunyai efek pada pengambilan keputusan
seseorang. Perubahan kerangka dari fokus pada kemungkinan memperoleh sesuatu
(jiwa selamat) ke fokus pada kemungkinan kehilangan sesuatu (jiwa tidak
terselamatkan). Pada Masalah 1, kita cenderung untuk memilih kepastian bahwa
terdapat 200 orang yang akan selamat dan menghindari pilihan yang memberikan
kemungkinan tidak ada orang yang akan selamat. Pada Masalah 2, kita cenderung
untuk mengambil ririko bahwa tidak ada orang yang akan meninggal (meskipun
terdapat kemungkinan 600 orang akan meninggal) daripada mengambil pilihan bahwa
400 orang pasti akan meninggal. Catat dalam pikiran prisnip penting berikut.
·
Orang
cenderung untuk menghindari risiko ketika berhadapan dengan kemungkinan
memperoleh sesuatu (misalnya jiwa terselamatkan)
·
Orang
cenderung untuk mengambil ririko ketika berhadapan dengan kemungkinan
kehilangan sesuatu (misalnya jiwa tak terselamatkan)
Pengaruh kerangka dalam pengambilan
keputusan sangat kuat (Kahneman & Tversky, 1984; Shafir & Tversky,
1995). Misalnya, efek kerangka tidak hanya mempengaruhi orang yang kurang
mamahmi statistika, tetapi juga dapat mempengaruhi orang yang berkemampuan
statistika baik dan pengaruh tersebut begitu besar atau kuat. Banyak penelitian
mengenai efek kerangka telah direplikasi (Bohm & Lind, 1992; Levi dkk,
1988; Mayer, 1992; Stanovich, 1999; Svenson & Benson, 1993).
Efek kerangka juga mempunyai dampak pada sikap
konsumen. Misalnya, Johnson (1987) menemukan bahwa orang lebih mempunyai
pandangan yang positif terhadap daging sapi yang berlabel ”80% tidak berlemak”
daripada ”20% berlemak”. Efek kerangka juga terjadi ketika orang membeli lemari
es (Neale & Nortcraft, 1986), membeli real estate (Northcraft & Neale,
1987), memilih karyawan (Huber dkk, 1987), dan ketika membayar layanan publik
(Green, 1994).
Banyak penelitian juga menjelaskan bagaimana
efek kerangka dapat mempengaruhi keputusan medis (Rodiman & Salovey, 1997).
Efek kerangka juga terjadi dalam penggunaan atau pemilihan kondom (Linville
dkk, 1993), pengobatan penyakit kanker paru-paru (McNeil dkk, 1982), dan
konsultasi genetik (McNeil dkk, 1988). Para dokter, sebagaimana pasien, mungkin
dipengaruhi juga oleh efek ini. Efek kerangka juga mempengaruhi keputusan
mengenai keamanan umum, seperti penggunaan sabuk pengaman dalam mobil (Slovic
dkk, 1988).
Huber dan koleganya (1987) menyimpulkan
kaitan efek kerangka secara umum. Pengambilan keputusan sering bergantung pada
apakah pilihan disajikan dalam bentuk “apakah suatu gelas setengah kosong?’
atau ”apakah gelas setengah isi?”. Bidang penelitian ini menegaskan Tema 4
dalam buku ini bahwa proses kognitif betul-betul saling berkaitan. Dalam kasus
ini, bahasa mempunyai pengaruh penting dalam pengambilan keputusan.
Deborah Frisch (1993) berpendapat bahwa berbagai masalah
kerangka secara aktual sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena
itu, dia menyajikan berbagai masalah ini kepada mahasiswa dan meminta mereka
untuk menentukan apakah dua versi dari tiap masalah tampak secara objektif sama,
secara objektif berbeda, atau secara subjektif berbeda. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa efek kerangka betul-betul tidak homogen. Misalnya, partisipan
menyatakan bahwa secara objektif sama untuk dua versi masalah dalam Demonstrasi
10 mengenai penyakit yang tak wajar di Asia.
Kita akan mereview bagaimana efek kerangka
bekerja. Informasi dasar dapat mempengaruhi keputusan; kita tidak membuat
pilihan dalam keadaan hampa dan mengabaikan
pengetahuan mengenai lingkungan atau dunia. Susunan kalimat atau penyajian suatu
masalah dapat mempengaruhi keputusan, sehingga orang menghindari risiko ketika
penyajian masalah mengimplikasikan bahwa mereka akan memperoleh sesuatu dan
mereka mengambil risiko ketika penyajian masalah mengimplikasikan bahwa mereka akan
kehilangan sesuatu. Efek kerangka ini telah direplikasi dalam berbagai situasi.
Frisch (1993) menjelaskan bahwa orang mempunyai penjelasan berbeda mengenai
efek kerangka. Penelitian pada efek kerangka memberikan beberapa saran praktis
berikut. Ketika Anda membuat keputusan penting, cobalah untuk menyusun
(menyajikan) ulang deskripsi keputusan yang akan Anda ambil. Misalnya, andaikan
Anda mencoba untuk memutuskan apakah akan mencoba meraih karir impian Anda. Tanyakan kepada diri Anda sendiri bagaimana
perasaan Anda bila mengambil pilihan ini. Tanyakan juga kepada diri Anda sendiri
bagaimana jika Anda tidak mengambil pilihan ini.
5. PENDALAMAN
Sikap Terlalu Yakin atau Terlalu Percaya
Diri (Overconvidence) dalam Pengambilan Keputusan
Sejauh ini kita telah
melihat bahwa keputusan dapat dipengaruhi oleh tiga heuristik pengambilan
keputusan, yaitu (1) heuristik keterwakilan, (2) heuristik ketersediaan, dan (3) heuristik Pembuatan acuan dan
penyesuaian. Lebih lanjut, efek kerangka menunjukkan bahwa informasi dasar dan
penyajian masalah dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang tidak tepat. Dengan
mengingat sumber-sumber kesalahan ini, orang hendaknya tidak terlalu yakin
mengenai keterampilan mereka dalam mengambil keputusan. Sayangnya, penelitian
menunjukkan bahwa orang sering terlalu yakin dalam mengambil keputusan. Terlalu
yakin berarti keyakinan orang dalam mengerjakan tugas terlalu tinggi dibandingkan
kemampuan yang sesungguhnya.
Kita juga telah melihat dua contoh sikap terlalu
yakin dalam pengambilan keputusan di bab ini. Dalam diskusi mengenai korelasi
semu, kita menekankan bahwa orang terlalu yakni bahwa dua variabel berkorelasi
padahal dalam kenyataannya korelasi itu sangat lemah atau bahkan tidak ada.
Dalam diskusi mengenai Pembuatan acuan dan penyesuaian, kita melihat bahwa
orang juga terlalu yakin dengan memberikan interval kepercayaan yang sempit untuk
estimasi mereka.
Sikap terlalu yakin merupakan
karakteristik tugas kognitif lain dalam pengambilan keputusan. Bab 4
menjelaskan bahwa orang sering terlalu yakin ketika mereka memberikan kesaksian
pandangan mata. Bab 5 menekankan bahwa orang juga terlalu yakin mengenai
bagaimana mereka memahami materi yang telah mereka baca, meskipun mereka
menjawab banyak pertanyaan dengan tidak tepat. Sekarang, kita akan
memperhatikan penelitian pada beberapa aspek sikap terlalu yakin dan selanjutnya kita akan mendiskusikan beberapa
faktor yang membantu melahirkan sikap terlalu yakin.
Penelitian Umum Mengenai
Sikap Terlalu Yakin
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa manusia
terlalu yakin dalam banyak situasi pengambilan keputusan. Misalnya, orang
terlalu yakin mengenai berapa lama orang yang menderita penyakit berat akan
hidup, perusahaan mana yang akan bangkrut, pasien mana yang mempunyai kelainan
serius, mahasiswa mana yang akan lulus dengan baik, dan sebagainya (Kahneman dan
Tversky, 1995). Orang secara konsisten lebih mendasarkan pada keyakinannya
daripada mendasarkan pada ukuran objektif secara statistik dalam mengambil
keputusan.
Penelitian lain pada topik sikap terlalu yakin
menunjukkan bahwa pemain bridge amatir terlalu yakin, sementara pemain
profesional tidak (Keren, 1987). Juga, para ahli psikologi klinis terlalu yakin
dalam mendiagnosis kelainan mental pasiennya (Ridley, 1995). Selain itu, dokter
cenderung untuk terlalu yakin bahwa pasiennya menderita penyakit tertentu
daripada dua penyakit lainnya (McKenzie, 198).
Format keputusan juga mempengaruhi efek
terlalu yakin (Juslin dkk, 1999). Misalnya, orang secara umum terlalu yakin
ketika mereka mengestimasi interval kepercayaan seperti yang mereka lakukan
pada Demonstrasi 12.8. Sebaliknya, keyakinan mereka menilai
lebih akurat ketika pertanyaan difrasekan atau disajikan secara berbeda. Anda
mungkin akan lebih akurat, misalnya, jika pertanyaan 3 dalam Demonstrasi 12.8 dituliskan ”Populasi Illinois pada tahun 1997 kurang dari 12 juta orang.
Berapa peluang pernyataan ini benar?
Lebih lanjut, kita hendaknya menekankan bahwa terdapat
perbedaan secara individual terkait sikap terlalu yakin. Misalnya, penelitian
dalam skala besar terkait kemampuan siswa dalam mengambil keputusan menunjukan
bahwa sebanyak 77% partisipan terlalu yakin mengenai keakuratan mereka dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan umum seperti ditunjukkan dalam Demonstrasi 12.8. Sementara 23% partisipan tidak yakin (Stanovich, 1999). Penelitian lain
menunjukkan bahwa lelaki lebih mempunyai sikap terlalu yakin dibandingkan
wanita terkait keakuratan keputusan mereka (Eccles dkk, 1998; Pulford &
Colman, 1997).
Kita akan membahas dua hasil penelitian terkait
sikap terlalu yakin. Contoh pertama terkait dengan kebijakan internasional.
Contoh kedua mungkin lebih familiar, sebab memfokuskan pada keyakinan siswa
mengenai kemampuannya dalam menyelesaikan tugas atau proyek tepat waktu.
Sikap Terlalu Yakin dalam
Pengambilan Keputusan Politik
Sikap terlalu yakin memainkan peran dalam
kebijakan internasional. Misalnya, politisi mungkin terlalu yakin bahwa situasi
politik darurat tertentu serupa dengan situasi yang pernah mereka selesaikan
(Peterson, 1985). Dalam konflik internasional, masing-masing pihak juga
cenderung bersikap terlalu yakin mengenai kesempatan mereka untuk berhasil (Kahneman
& Tversky, 1995).
Dalam banyak situasi, sikap terlalu yakin
mempunyai konsekuensi nyata bagi kehidupan orang. Misalnya, pada tahun 1988,
Kapten Will Rogers di atas kapal perang U.S.S. Vincennes di teluk Persia selama
perang Irak dan Iran. Radar kapal perang mendeteksi adanya pesawat terbang yang
tak dikenal dan Rogers harus memutuskan apakah pesawat tersebut merupakan
pesawat sipil atau peswat tempur yang akan menyerang kapal perangnya. Dia
memutuskan untuk menembakkan dua peluru kendali ke pesawat tersebut. Ternyata,
pesawat tersebut adalah pesawat sipil Iran. Semua penumpang pesawat tersebut
yang berjumlah 290 orang tewas dalam insiden tersebut. Panel para ahli pengambilan
keputusan menyatakan bahwa kapten Rogers terlalu yakin mengenai penilaian
awalnya dan gagal untuk memverifikasi karakteristik penting situasi tersebut
(Bales, 1988; Klein, 1998).
Insiden Vincennes mendorong U.S. Navy
untuk melakukan program penelitian. Program ini, yang dinamakan Tactical
Decision Making Under Stress (TADMUS), didesain untuk mendorong para
pengambil keputusan militer untuk berhati-hati memperhatikan hipotesis alternatif
(Cannon-Bowers & Salas, 1998). Misalnya, mereka dapat menggunakan suatu strategi
yang disebut teknik bola kristal (M.S. Cohen dkk, 1998). Teknik bola
kristal meminta pengambil keputusan untuk membayangkan bahwa hipotesis mereka
sesungguhnya tidak benar; pengambil keputusan seharusnya mencari penjelasan
alternatif untuk kejadian tersebut. Mereka harus juga menemukan bukti yang
rasional untuk mendukung penjelasan alternatif itu. Jika Kapten Rogers telah
menggunakan teknik bola kristal, misalnya, ia akan diminta untuk
mendeskripsikan beberapa alasan mengapa pesawat terbang itu mungkin adalah pesawat
komersial yang membawa penumpang sipil. Kita perlu menekankan bahwa pembuat
keputusan hendaknya tidak merenungkan dengan tergesa-gesa berbagai alternatif
hipotesis. Keptusuan politis yang berisiko tinggi seperti ini harus dilakukan
dalam waktu kurang dari satu menit.
Sikap Siwa yang Terlalu
Yakin dalam Menyelesaikan Tugas Tepat Waku
Apakah Anda terkejut bahwa siswa atau mahasiswa sering
mempunyai sikap yang terlalu optimis mengenai sebarapa cepat mereka dapat
menyelesaikan suatu tugas? (Behler dkk, 1994).
Pada kenyataannya, sikap terlalu yakin ini terjadi pada sebagian besar
orang. Fenomena ini, yang disebut kesalahan dalam merencanakan (planning fallacy),
merujuk pada suatu tindakan terkait estimasi yang rendah mengenai waktu atau
uang dalam kaitannya dengan penyelesaian suatu tugas. Orang juga mengestimasi
bahwa suatu tugas akan relatif mudah untuk diselesaikan (Taylor dkk, 1998).
Perhatikan bahwa kesalahan ini terkait dengan sikap terlalu yakin. Jika Anda
terlalu yakin dalam mengambil keputusan, maka Anda akan mengestimasi bahwa
makalah Anda untuk tugas Psikologi Kognitif hanya memerlukan waktu 10 jam untuk
menyelesaikannya dan Anda dapat dengan mudah menyelesaikannya tepat waktu jika
Anda memulai Selasa depan.
Shelley Taylor dan koleganya (1998) mengeksplorasi
kesalahan perencanaan dengan meneliti bagaimana mahasiswa mengerjakan suatu
tugas. Mereka meminta mahasiswa Universitas California di Los Angeles untuk mengerjakan
tugas akademik seperti penulisan makalah singkat yang memerlukan waktu seminggu
untuk menyelesaikannya. Satu kelompok mahasiswa menerima instruksi “simulasi
proses”. Mereka diminta untuk merancang setiap langkah dari proses itu dalam rangka
menyeselesaikan tugas, seperti mengumpulkan bahan, mengorganisasi struktur
dasar tugas, dan sebagainya. Kelompok kedua menerima instruksi “simulasi
hasil”. Mereka diminta untuk membayangkan bahwa tugas diselesaikan dan mereka
sangat puas dengan hasil itu. Mahasiswa di kedua kelompok ini diinstruksikan
untuk melatih simulasi dalam waktu 5 menit setiap hari selama seminggu.
Sedangkan kelompok ketiga, sebagai kelompok kontrol, tidak menggunakan simulasi.
Tabel 3. Pengaruh Instruksi Terhadap Perkembangan Mahasiswa
pada Tugas
Akademik
|
Kelompok
|
||
Simulasi
proses
|
Simulasi
hasil
|
Kontrol
|
|
% banyaknya mahasiswa yang memulai tugas tepat waktu
|
24%
|
26%
|
14%
|
% banyaknya mahasiswa yang menyelesaikan tugas tepat waktu
|
41%
|
33%
|
14%
|
Sumber: Taylor dkk, 1998
Tabel 3 menunjukkan hasil penelitian
tersebut. Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara
signifikan dari ketiga kelompok mahasiswa dalam memulai tugas tepat waktu. (Siswa
di kelompok ketiga atau kelompok kontrol agak kurang tepat waktu dalam memulai
tugas, tetapi tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok lain).
Sebagaimana dapat Anda lihat, bagaimanapun, instruksi simulasi mempunyai
pengaruh signifikan secara statistik terhadap persentase mahasiswa yang
menyelesaikan tugas tepat waktu. Mahasiswa dalam kondisi simulasi proses lebih
cepat menyelesaikan tugas daripada mahasiswa dalam kondisi simulasi-hasil.
Namun demikian mahasiswa dalam kondisi simulasi-hasil juga lebih cepat dalam
menyelesaikan tugas dibandingkan mahasiswa di kelompok control. Taylor dan
koleganya (1998) mengakui bahwa mereka tidak mempunyai penjelasan yang lengkap
mengenai hasil tugas tersebut. (Sebagai mahasiswa, bagaimana Anda menjelaskan
data itu?). Bagaimanapun, simulasi proses tampaknya mendorong mahasiswa untuk
mengatur sikap mereka sedemikian sehingga penyelesaian tugas mereka konsisten
dengan estimasi keyakinan awal mereka dalam menyelesaikan tugas. Peneliti juga menekankan
bahwa hanya terdapat 41% mahasiswa yang berada dalam kondisi
produktif secara actual dalam menyelesaikan tugas tepat waktu. Dengan demikian,
simulasi prosespun tidak dapat menghilangkan kesalahan perencanaan.
Penjelasan Terhadap Sikap
Terlalu Yakin
Kita telah melihat banyak contoh bahwa orang
cenderung terlalu yakin mengenai kebenaran keputusan mereka. Sikap terlalu yakin
ini terjadi karena adanya kesalahan selama proses pengambilan keputusan.
1.
Orang
sering tidak menyadari bahwa pengetahuan mereka didasarkan pada asumsi yang
lemah dan tidak pasti dan pada informasi dari sumber yang tidak terpercaya atau
tidak sesuai (Carlson, 1995; Greenberg dkk, 1995; Griffin & Tversky, 1992).
2.
Orang
hanya mencari contoh-contoh yang menegaskan hipotesis mereka dan menghindari
mencari contoh-contoh yang tidak mendukungnya (Baron, 1998; M.S. Cohen, 1993;
Sanbonmatsu dkk, 1998). Ingat kembali dari pembahasan mengenai penalaran
deduktif bahwa orang memilih untuk menegaskan hipotesis mereka daripada mencari
bukti yang menolaknya. Apabila orang mencari hipotesis lainnya, sikap terlalu
yakin mereka secara substansial berkurang (Sanbonmatsu dkk, 1998; Slomon,
1999).
3.
Orang
mempunyai kesulitan mengingat hipotesis lain yang mungkin dan pengambilan
keputusan tergantung pada memori (Tema 4). Jika Anda tidak dapat mengingat
hipotesis yang bersesuaian, Anda akan menjadi sangat yakin dengan hipotesis
yang sudah Anda tetapkan.
4. Meskipun jika orang memperhatikan
hipotesis lain yang mungkin, mereka tidak memperlakukan hipotesis tersebut
dengan sungguh-sungguh dan mereka tidak secara hati-hati membangun sebuah
skenario yang mendukung kebenaran hipotesis alternatif tersebut.
- Efek pemenuhan kebijakan sendiri (A self-fulfilling prophecy effect) (Einchom & Hogarth, 1981). Misalnya, seorang petugas yang menyeleksi calon peserta suatu program yang menilai bahwa seorang calon sangat berkualifikasi untuk mengikuti program tersebut mungkin akan merasa bahwa penilaian mereka didukung atau benar ketika calon tersebut berhasil. Namun demikian, kesuksesan seorang calon mungkin terjadi karena efek positif program tersebut., sehingga orang yang telah ditolak mungkin juga akan berhasil jika mereka diberi kesempatan untuk mengikuti program tersebut.
Jonathan Baron (1998) menggunakan istilah ”bias
sisi pandang saya” (my-side bias) untuk mendeskripsikan sikap
terlalu yakin yang menganggap bahwa pandangan seseorang adalah benar. Baron
menyatakan bahwa konflik sering muncul ketika sekelompok orang bahkan suatu
bangsa dapat saja terkena jatuh pada bias ini. Mereka terlalu yakin bahwa
posisi mereka adalah benar. Jika Anda mempunyai konflik dengan seseorang,
cobalah untuk mengatasi bias ”sisi pandang saya” dan cermati apakah ada
beberapa bagian dari posisi orang tersebut yang mungkin benar. Secara umum,
cobalah untuk mengurangi bias terlalu yakin ketika Anda akan mengambil keputusan
yang penting. Perhatikan 5 hal yang menyebabkan kesalahan dalam pengambilan
keputusan pada daftar di atas sebelum mengambil keputusan.
- Bias Peninjauan Hal yang Sudah Terjadi (The Hindsight Bias)
Pada bagian
Pendalaman, kita telah mendiskusikan bagaimana orang terlalu yakin
mengenai prediksinya terhadap suatu kejadian yang akan terjadi di masa yang
akan datang. Sebaliknya, hindsight mengacu pada terlalu yakinnya seseorang
terhadap kejadian yang sudah terjadi (Poulton, 1994). Bias hindsight
merupakan kecenderungan kita untuk melaporkan hal yang berbeda dengan kenyataan
bahwa kita akan memprediksi secara akurat mengenai kejadian meskipun kita tidak
pernah mengatakan mengenai suatu hasil lebih lanjut (Cannon & Quinsey,
1995). Orang juga sering memaksakan bahwa informasi tentang kejadian yang sudah
terjadi tidak memberikan pengaruh pada penilaian mereka (Hawkins & Hastie,
1990).
Sebagai
ilustrasi ada orang bernama Singleton yang dihukum 14 tahun karena membunuh
seorang wanita. Karena menunjukkan sikap yang baik dalam penjara akhirnya dia
dibebaskan bersyarat. Sepuluh tahun kemudian ternyata Singleton membunuh lagi.
Masyarakat California sangat marah terhadap hakim atau pejabat yang membebaskan
Singleton, dengan mengabaikan bahwa Singleton terlah bersikap baik selama dalam
penjara, mereka terkena bias kejadian yang sudah terjadi bahwa Singleton
pasti membunuh lagi.
Penelitian Mengenai Bias Hindsight.
Demonstrasi 11 didasarkan pada penelitian
mengenai bias hindsight (Hawkins & Hastie, 1990; Winman dkk, 1998).
Perhatikan apakah teman Anda yang telah mengetahui jawaban suatu pertanyaan
menjadi lebih yakin daripada yang belum mendapatkan keuntungan hindsight.
Bias hindsight tidak hanya terjadi
terkait dengan kejadian atau informasi faktual, tetapi juga terkait dengan penilaian
mengenai seseorang. Misalnya, Carli (1999) meminta siswa untuk membaca dua
halaman cerita mengenai seorang wanita muda bernama Barbara dan hubungannya
dengan Jack, lelaki yang ia kenal di sekolah pascasarjana. Separuh siswa
tersebut membaca versi cerita yang berakhir tragis, yaitu Jack memperkosa
Barbara. Sementara separuh siswa lainnya membaca versi cerita yang berakhir
tidak terlalu tragis, yaitu Jack melamar untuk menikahi Barbara. Dua versi
cerita itu mirip, kecuali akhir ceritanya.
Setelah membaca cerita tersebut,
masing-masing siswa diberikan tes memori benar-salah. Tes tersebut dimaksudkan
untuk mengetes suatu fakta terkait cerita tersebut, tetapi juga melibatkan item
mengenai informasi yang tidak terdapat pada cerita itu. Beberapa item
pertanyaan sesuai dengan versi skenario perkosaan (Misalnya Barbara bertemu
dengan banyak laki-laki pada suatu pesta) dan beberapa item sesuai dengan skenario
melamar (misalnya Barbara sangat ingin berkeluarga).
Hasil penelitian Carli (1999) menegaskan
adanya bias hindsight. Orang yang membaca cerita versi perkosaan mengatakan
bahwa mereka telah memprediksi bahwa Barbara akan diperkosa. Serupa hal itu,
orang yang membaca cerita versi Jack melamar Barbara mengatakan bahwa mereka
telah memprediksi bahwa Jack akan melamar Barbara (Ingat bahwa dua cerita
tersebut sebenarnya serupa atau identik, kecuali pada akhir ceritanya). Perhatikan
bahwa masing-masing kelompok melakukan kesalahan secara sistematis pada tes
memori. Mereka mengabsahkan item yang sesuai dengan akhir cerita yang mereka
baca, meskipun informasi itu tidak terdapat pada cerita. Penelitian Carli
membantu kita memahami mengapa banyak orang “mengutuk korban” suatu tragedi
seperti perkosaan. Pada kenyataannya, tindakan pertama orang tersebut mungkin tidak betul-betul tidak
sesuai. Bagaimanapun, orang sering mencari alasan di masa lalu mengapa
seseorang pantas menjadi korban pada suatu tragedi. Sebagaimana kita lihat pada
penelitian Carli, orang mungkin merekonstruksi beberapa alasan atau penjelasan
yang tidak relvan.
Bias hindsight telah ditunjukkan
dalam sejumlah situasi berbeda, meskipun pengaruh itu tidak selalu kuat (Agans
& Shatter, 1994; Cannon & Quinsey, 1995; Christenzen-Szalanski &
William, 1991; Creyer & Ross, 1993; Hawkins, 1995). Misalnya, dokter
menunjukkan bias hindsight ketika memberikan diagnosis medis (Arkes dkk,
1981; Dehn & Erdfelder, 1998), dan orang menunjukkan bias yang sama ketika
menilai hasil pemilihan senat AS (Dehn & Erdfelder, 1998; Dietrich &
Olson, 1993).
Cristenzen dan William (1991) mengumpulkan
sebanyak 122 penelitian mengenai bias hindsight. Selanjutnya mereka melakukan
meta analisis terhadap penelitian-penelitian tersebut. Sebagaimana dikemukakan
di awal bab bahwa teknik meta analisis memberikan merupakan metode untuk
mensintesis banyak studi atau penelitian ke dalam satu topik. Meta analisis
mengenai hindsight menunjukkan bahwa secara keseluruhan, pengaruh bias hindsight
ini kecil. Pada umumnya, efek bias ini terjadi ketika orang membuat penilaian
mengenai informasi tipe almanak dan tugas yang tidak familiar.
Penjelasan Mengenai Bias Hindsight
Berdasarkan hasil penelitian Carli (1999),
orang mengatakan bahwa mereka mungkin
tidak ingat kejadian di masa lampau sehingga mereka hanya konsisten dengan
informasi sekarang; kejadian ini membantu mereka untuk menentukan suatu hasil.
Hawkins dan Hastie (1990) mendiskusikan berbagai penjelasan lain mengenai bias hindsight.
Misalnya, orang mungkin merekonstruksi penilaian terdahulu mereka dengan
menilai ulang suatu hasil. Dengan
kata lain, orang mungkin menggunakan strategi kognitif untuk membuat penilaian
mereka konsisten dengan kenyataan. Penjelasan kognitif lainnya adalah bahwa
orang mungkin menggunakan Pembuatan acuan dan penyesuaian. Selain itu semua, jika
kepada orang telah disampaikan bahwa suatu hasil tertentu betul-betul terjadi,
yaitu kepastiannya adalah 100%, maka mereka menggunakan nilai 100% ini sebagai
jangkar, dan mereka tidak menyesuaikan dengan menurunkan kepastian itu; sesuatu
yang hendaknya mereka lakukan. Mungkin orang secara sederhana ingin untuk
tampak bagus di mata peneliti atau orang lain yang mungkin mengevaluasi atau
menilai mereka.
- Dua Perspektif dalam Pengambilan Keputusan: Optimis vs Pesimis
Uraian dalam bab ini akan mendorong kita
untuk mengatakan bahwa kita tidak kompeten dalam membuat keputusan. Dalam
mengambil keputusan, kita dipengaruhi oleh tiga heuristik pengambilan keputusan
dan kita digangu oleh efek kerangka, efek terlalu yakin, dan bias hindsight.
Hal ini merupakan pandangan pesimistis yang ditunjukkan oleh peneliti seperti
Kahneman dan Tversky (1996). Mereka berpendapat bahwa tiga heuristik biasanya
memberikan kita mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak tahun 1990, terdapat peneliti-peneliti
yang berpandangan lebih optimistis, seperti Gerd Gigerenzer (1994). Para ahli
ini berpendapat bahwa orang tidak secara sempurna bersikap rasional dalam membuat
keputusan. Mereka berpendapat bahwa peneliti seperti Kahneman dan Tversky tidak
memberikan kesempatan yang adil kepada orang atau partisipan. Misalnya, penelitian
tidak mengetes orang secara fair dan tidak menggunakan setting alami
(Hammond, 1996; Manktelow, 1999). Misalnya, ahli yang berpandangan optimis
menyatakan bahwa kemampuan orang membuat keputusan adalah akurat secara
rasional ketika peneliti mengeliminasi pertanyaan tipuan (trick) yang mendorong
pembuat keputusan untuk mengabaikan informasi penting seperti angka dasar (base
rate). Mereka juga menyatakan bahwa orang mempunyai kemampuan baik ketika
pertanyaan diberikan dalam bentuk frekuensi daripada disajikan dalam bentuk
probabilitas atau peluang (Brase dkk, 1998; Cosmides & Tooboy, 1996;
Gigerenzer, 1993).
Para penganut optimistis juga menyatakan bahwa
partisipan penelitian mungkin menginterpretasikan bahwa tugas pengambilan
keputusan berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh peneliti. Misalnya,
partisipan mungkin memperhatikan bahwa peneliti berbohong, misalnya mengenai
frekuensi relatif dari insinyur dan pengacara dalam Demonstrasi 4 (M.S. Cohen,
1993).
Kedua pandangan, baik yang optimis maupun
yang pesimistis, mungkin pada bagian-bagian tertentu adalah benar (Dawes, 1998;
Richadson, 1998). Para penganut optimistis mungkin menyatakan bahwa metode yang
digunakan oleh Kahneman dan Tversky dan peneliti lainnya yang meneliti heuristik
pengambilan keputusan, mungkin mengestimasi terlalu rendah terhadap potensi
kita. Bagaimanapun juga, kaum pesimistis juga menyatakan bahwa mereka selalu
berpendapat bahwa heuristik membantu untuk menjadi pembuat keputusan yang lebih
efekif dengan menyadari keterbatasan dari strategi penting ini (Kahneman dan
Tversky, 1996).
SIMPULAN: PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
1. Heuristik pengambilan keputusan secara
khusus berguna dalam kehidupan sehari-hari kita. Banyak kesalahan dalam
pengambilan keputusan terjadi karena kita menggunakan heuristik di luar yang
dimaksudkan.
2. Menurut heuristik keterwakilan, kita
menilai bahwa sebuah contoh adalah lebih disukai jika dia mewakili populasi di mana
sampel tersebut dipilih.
3. Kita juga terkesan pada keterwakilan yang
cenderung membuat kita mengabaikan informasi statistik penting seperti ukuran
sampel dan angka dasar (base rate). Heuristik keterwakilan juga dapat menghasilkan
kesalahan konjungsi.
4. Menurut heuristik ketersediaan, kita mengestimasi
frekuensi atau peluang dalam terminologi seberapa mudah kita dapat mengingat
atau memberikan contoh sesuatu.
5. Heuristik ketersediaan meghasilkan
kesalahan ketika terkotori atau terganggu oleh faktor resensi dan familiaritas.
Heuristik ketersediaan juga membantu kita menjelaskan fenomena korelasi semu. Ketika
kita menggunakan simulasi heuristik yang berkaitan dengan ketersediaan, kita
menilai seberapa mudah kita dapat membayangkan kejadian yang mungkin.
6.
Menurut
heuristik pembuatan acuan dan penyesuaian, kita menetapkan suatu jangkar kemudian
membuat penyesuaian berdasarkan berdasarkan informasi lain. Masalahnya adalah penyesuaian
ini terkadang terlalu kecil.
7. Kita juga menggunakan heuristik Pembuatan
acuan dan penyesuaian ketika kita mengestimasi interval kepercayaan. Kita mulai
dengan sebuah estimasi tunggal terbaik dan kemudian membuat penyesuaian yang sangat
sempit ke atas dan ke bawah untuk menetapkan interval kepercayaan.
8. Cara suatu pertanyaan dikerangkakan
(susunan kalimat pertanyaan) juga mempengaruhi keputusan kita. Informasi dasar
dapat mempengaruhi keputusan kita tidak tepat. Juga, ketika pertanyaan
mengimplikasikan untuk memperoleh sesuatu maka kita cenderung untuk menghindari
resiko. Sedangkan jika suatu pertanyaan mengimplikasikan kehilangan sesuatu,
maka cenderung untuk mengambil ririko.
9. Orang seringkali terlalu yakin mengenai
keputusan mereka. Misalnya, pembuat keputusan politis mungkin akan membahayakan
kehidupan ketika mereka terlalu yakin Dengan menggunakan simulasi proses,
mahasiswa dapat mengurangi sikap terlalu yakinnya mengenai estimasi waktu
penyelesaian tugas.
10. Ketika orang menunjukkan bias hindsight,
mereka mengetahui hasil suatu kejadian dan mereka terlalu optimis bahwa mereka
telah dapat memprediksi suatu kejadian tertentu.
11. Sekelompok peneliti atau ahli yang
berpandangan optimistis (misalnya Gigerenzer) berpendapat bahwa manusia
memiliki kemampuan yang rasional dalam pengambilan keputusan, dan mereka
menyatakan bahwa peneliti yang menggunakan metode heuristik tidak memberikan
tes secara adil. Sementara perspektif pesimistis (misalnya Kahneman dan
Tversky) berpendapat bahwa heuristik seringkali mengarah pada keputusan yang
akurat. Kita dapat membuat keputusan yang akurat dengan memperhatikan keterbatasan
heuristik ini.
PERTANYAAN DAN JAWABAN TINJAUAN BAB
Jelaskan perbedaan yang mendasar antara
penalaran deduktif dan pengambilan keputusan. Buatlah satu contoh yang terdapat
dalam kehidupan sehari-hari untuk mengilustrasikan proses kognitif. Kenapa
keduanya dikategorikan sebagai proses “berpikir”?
Jawab:
Penalaran deduktif merupakan logika penarikan
kesimpulan berdasarkan pernyataan atau informasi yang ada.
Contoh: Jika tabungan saya cukup, maka saya akan
membeli hard-disk eksternal. Kondisinya saya tidak membeli hard-disk eksternal.
Kesimpulannya, tabungan saya belum cukup.
Pengambilan keputusan merupakan penilaian atau
memilih diantara beberapa alternatif pilihan yang tersedia.
Contoh: Saya mengambil mata kuliah kajian
ipa-biologi atau kajian ipa-kimia. Saya akan memikirkan dan mempertimbangkan
kelebihan dan kekurangan masing-masingnya atau bisa juga lebih memilih mana
yang lebih saya senangi. Kemudian saya mengambil keputusan akan mengambil salah
satu diantara mata kuliah tersebut.
Kegiatan berpikir berarti menggunakan atau
memanipulasi informasi yang ada untuk membuat kesimpulan dan mengambil
keputusan. Baik penalaran deduktif maupun pengambilan keputusan, keduanya membutuhkan
kegiatan pengolahan informasi yang ada didalam pikiran kita ketika kita
melakukannya. Oleh karena itu, keduanya melibatkan proses berpikir.
Sands Casino in San Diego: Home
BalasHapusOur new Sands Casino 샌즈 카지노 파트너 at San Diego features the finest in gaming and a world-class entertainment venue with more than 2500 of the hottest slots Address: 777 Casino Dr, San Diego, CA 95648Phone: (760) 551-7777